Pages

Ardhian's Zone

WELCOME to My Zone,,,
Here, You can read my Creation,,
like story or something like that,, :)
Enjoy Your Visit :)

Sabtu, 28 Januari 2012

Memories of the Rain (4)

Sementara itu di tempat lain…

“bagaimana Dok? Apa ada perkembangan dengan pasien 314?” Tanya seorang pria paruh baya kepada dokter yang tengah memeriksa data beberpa pasiennya. Tampak dari raut wajah pria itu guratan kesedihan dan sebuah harapan yang mendalam.

“dari pengamatan kami selama satu minggu ini, bukannya membaik tapi semakin memburuk. Dia lebih sering berontak, walau tidak separah yang dulu.” Jawab dokter itu setelah memeriksa beberapa kertas.

“apa dalam seminggu ini sering hujan, dok?”

“lumayan sering, dalam sehari malah pernah tidak cerah semenit pun. Mendung. Itulah mengapa saya memanggil bapak kemari.”

“memang ada masalah apa Dok?” Tanya pria itu serius.

“dalam seminggu ini ada kelakuan yang tidak biasa yang ditunjukkan olehnya. Pemberontakan yang dia lakukan lebih emosional. Entah kejadian apa yang terlintas, sehingga membuatnya bertindak nekat seperti itu.”

“maksud dokter dengan bertindak nekat itu apa?”

“waktu itu, hujan turun lumayan deras. Dan kami sudah berjaga-jaga jika dia kembali memberontak. Tapi waktu itu, setelah dia mengamuk seperti biasa, dia juga berusah memotong nadinya dengan pecahan kaca yang ada di kamarnya. Untung saja kami datang tepat waktu dan dapat mencegahnya melakukan tindakan nekad itu. Maaf pak Raharjo, jika saya boleh tahu apa ada kejadian berat yang dialami anak itu sehingga dia bisa berbuat nekat seperti itu?”

“apakah waktu itu hujan yang turun, deras dan sering muncul petir Dok?” Tanya pria itu sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan oleh dokter Ardi.

“benar, waktu itu hujan deras dan berpetir.” Jawab dokter Ardi mantap.

“ternyata anak itu memang belum bisa memaafkan dirinya sendiri.” Desah pria itu murung. Dan perlahan kenangan kejadian dua tahun lalu berpuatar dalam ingatannya.

***

Dua tahun lalu, ada sebuah moment yang seharusnya menjadi moment bahagia bagi keluarga Raharjo, anak satu-satunya dari keluarga Raharjo akan mendapatkan gelar Sarjana Teknik dari sebuah universitas terkemuka. Persiapan untuk wisuda pun sudah matang. Mulai dari toga, jas, keluarga yang akan mengikuti prosesi tersebut, serta pesta perayaan wisuda pun sudah fix.

Pagi itu, pada hari bersejarah ini pak Raharjo melupakan sejenak perlakuan dinginnya terhadap anak semata wayangnya, yang selama ini telah dianggap sebagai anak pembawa sial bagi keluarga Raharjo. Dia ingin menjadi orang tua seutuhnya bagi anak laki-laki satu-satunya itu.

“kamu udah siap berangkat Ta?” sapa pak Raharjo ketika melihat anaknya turun dari lantai dua.

Anak lelaki itu pun hanya menatap dingin orang yang bertanya, dan terus melangkahkan kakinya keluar. Semenjak kejadian yang membuat ia harus kehilangan orang yang sangat berarti baginya, wajah itu, dan tatapan mata itu seakan tak bernyawa. Hampa, datar, dan tak berekspresi.

“maafkan papa Nak, semua ini salah papa, tak seharusnya papa bersikap seperti itu pada mu. Maafkan papa….” Ujar pak Raharjo dalam hati.

Di luar, seluruh keluarga besar Raharjo telah siap berangkat menuju aula tempat prosesi wisuda berlangsung. Ada kakek, nenek, paman,bibi, keponakan, sepupu, lengkap. Setelah semua dirasa telah siap, akhirnya rombongan keluarga besar Raharjo ini pun meluncur ke tempat yang telah ditunggu-tunggu selama empat tahun ini. Aula wisuda.

Setelah semua prosesi dijalankan, acara selanjutnya adalah sesi photo-photo. Setelah semua kebagian photo bersama sang wisudawan, akhirnya seluruh rombongan pengiring wisudawan ini pun bertolak menuju ke tempat pesta kelulusan.

Pesta kelulusan itu pun berlansung sangat meriah, seluruh keluarga memberikan ucapan selamat kepada lelaki yang telah berhasil mendapatkan gelar sarjana pertamanya tersebut. Namun anehnya, lelaki itu tak menampakkan raut bahagia layaknya seorang yang telah diwisuda. Wajah dan ekspresi itu tetap datar dan seakan tak bernyawa.

“sebenarnya ada apa dengan anak itu, bukannya pasang wajah bahagia malah ekspresi seperti itu yang Nampak.” Ujar seorang anggota keluarga Raharjo di sudut ruangan pesta.

“entahlah, tapi… bukannya anak itu emang udah dari dulu sikapnya kaya’ gitu, kamu juga pasti tau kan…” timpal anggota keluarga yang lain.

“yaa… yaa… yaa… gara-gara kejadian itu kan dia jadi mulai bertingkah aneh, tapi… seingatku belum lama ini dia bisa bertingkah normal kaya' anak-anak yang lain,”

“benarkah itu?! Aah… tapi masa’ iya sih, bukannya anak itu…”

“iyaa… aku tau itu, memang pada saat itu dia tidak sendiri…” potong orang yang berkemeja putih itu.

“tidak sendiri? Apa maksud mu? Bukankah anak itu selalu sendiri, aku saja tak pernah melihatnya bergaul dengan orang lain.” Timpal orang yang berjas kotak-kotak warna biru.

“memang, aku saja awalnya tak percaya dengan apa yang aku lihat, tapi setelah memastikannya sendiri, ternyata itu memang dia.”

“memang bagaimana keadaannnya saat kau bertemu dengannya, hingga membuatmu tak percaya seperti itu?”

“percaya atau tidak, dia hidup.”

“maksudmu?!”

“yaa… dia hidup, wajahnya benar-benar manampakkan ekspresi bahagia, dia tersenyum layaknya orang biasa, dia juga bisa tertawa dengan lepas, bahkan dia juga tak lupa bagaimana caranya bercanda. Benar-benar membuatku takjub, aku takkan lupa bagamana wajahnya ketika tertawa dan berekspresi seperti orang biasa.”

“benarkah apa yang kau katakan itu?”

“tentu saja!? Kamu kira aku membohongimu dengan segala cerita yang tak penting ini? Apa gunanya?!” timpal orang berkemeja putih itu dengan nada sedikit marah.

“maaf… maaf… bukannya aku tak percaya dengan ceritamu itu, tapi… membayangkan dia tersenyum dan bercanda, benar-benar membuatku…”

“yaa… yaa… aku tau, tapi setelah itu, saat aku berjumpa dengannya lagi, benar-benar membuatku tak percaya. Dia tampak lebih mati ketimbang yang dulu.”

“maksudmu?”

“yaa… kamu kan dapat melihat sendiri bagaimana keadaan dia sekarang, bukankah itu lebih buruk ketimbang dia yang dulu. Memangnya kamu tak merasakan perubahan itu?!”

“yaaah… memang, akhir-akhir ini aku juga merasa dia menjadi jauuh lebih aneh dari dia yang dulu. Oya, ngomong-ngomong katamu tadi waktu kau berjumpa dengannya dulu dia tak sendiri, memangnya dia bersama siapa?”

“aah yaa… aku hampir saja lupa, waktu itu dia bersama seorang gadis yang cantik sekali, benar-benar sebuah mukjizat dia bisa bertemu dengan gadis yang baik hati dan lemah lembut seperti itu.” Ujar pria berkemeja putih itu seraya menerawang.

“seorang gadis?? Benarkah itu?! Jangan-jangan itu kekasihnya?!”

“mungkin saja, dan dia hanya telihat hidup ketika dia bersama gadis itu.”

“lalu di mana gadis itu sekarang? Kalau memang dia benar-benar bisa menghidupkan anak itu, lebih baik segera saja kita nikahkan mereka. Aku benar-benar telah bosan melihat wajah matinya itu.”

“masalahnya adalah aku juga tak tahu di mana keberadaan gadis itu sekarang, dan saat aku berjumpa dengannya lagi, tak ada seorang gadis pun yang berada di sampingnya. Dan dia kembali mati seperti sekarang ini.”

“benarkah yang kau katakan itu?! Jangan-jangan gadis itu…”

“hei, jangan sembarangan bicara kau!! Kau tidak akan mengatakan jika gadis itu ternyata sudaah…”

“hei, aku kan hanya menduga-duga. Coba kau ingat-ingat kembali, apa coba yang bisa membuatnya mati seperti ini jika bukan kehilangan orang yang sangat berarti baginya.”

“benar juga apa yang kau katakan itu. Tapi aku berharap dapat berjumpa dengan gadis itu sekali lagi dan memintanya untuk menghidupakan kembali anak itu. Aku benar-benar ingin melihat wajah itu tertawa lagi.” Ujar pria berkemeja putih itu menewarang.

“ngomong-ngomong siapa nama gadis yang telah berhasil membuat keponakan kita itu hidup kembali?”

“anehnya nama gadis itu menunjukkan kalau dia memang tercipta hanya untuk keponakan kita itu.”

“memangnya siapa nama gadis itu?”

“nama gadis itu adalah…..”

“….??”

“Embun.”

***
Pesta yang dilangsungkan di salah satu hotel bintang lima itu pun berakhir sudah. Para tamu yang menyesaki ruangan pesta itu pun berangsur-angsur pergi meninggalkan ruangan pesta untuk kembali ke rumah masing-masing. Hanya tersisa sedikit tamu yang masih berada di ruangan itu. Tampak seorang pria berkemeja putih menghampiri sang raja pesta hari itu.

“haaaiii….. selamat ya… akhirnya kamu dapat juga gelar yang selama ini kamu idam-idamkan.” Ujarnya seraya mengulurkan tangannya untuk mengucapkan selamat yang disambut dengan malas oleh pemilik tangan satunya.

“terima kasih.” Ujarnya datar.

“bagaimana perasaan mu saat ini? Apakah kau bahagia sekarang?” Tanya pria itu ramah.

“heeemmm…”

“ngomong-ngomong, bagaimana kabar gadis yang kau perkenalkan pada ku waktu itu? Dari tadi aku bahkan tak melihatnya, apa dia tak datang ke pesta ini?” Tanya pria itu yang sukses membuat wajah keponkanannya itu lebih kelam dari yang sebelumnya. Bahkan wajah itu pun sudah terlihat pucat.

“heei… apa yang terjadi padamu? Apa kau sakit? Wajahmu pucat.”

“jangan…” ujarnya lemah.

“jangan? Jangan apa maksudmu?!”

“jangaaaann…. Ku mohon…” ujarnya semakin melemah.

“heeii…. Apa maksud mu?! Aku tak mengerti apa yang kau katakan. Aku hanya ingin tahu bagaimana kabar gadis yang bernama Embun itu…”

“JANGAN SEBUT NAMA ITU LAGI!!!” teriaknya kalap. Baginya, menyebutkan nama itu sama saja dengan membunuhnya secara perlahan. Karena nama itu mempunyai banyak kenangan, dan menyebutkan nama itu kembali hanya akan menambah jumlah luka yang talah meradang di hatinya.

“Jangan sebut nama itu lagi…. Ku mohoonnn…” ujarnya lemah.

“baiklaaah…. Baiklaah…. Aku tak akan menyebutnya lagi. Maafkan aku… jadi, bisakah kau tenangkan dirimu. Kau tak mau jadi pusat perhatian kan sekarang.”

Pemuda itu hanya mengangguk lemah.

“jadi… bagaimana kabarnya? Apakah dia baik-baik saja? Mengapa dia tak hadir di pesta kelulusanmu ini?” ujar pria berkemeja kotak-kotak yang baru saja hadir dalam pembicaraan itu.

“SUDAH KU BILANG JANGAN BICARA TENTANG DIA LAGI!!!” ujarnya seraya berlari meniggalkan ruangan pesta.

“dasar kau ini, memang tak pandai melihat situasi. Tak tahukah kau tadi aku dibentaknya karena menyebutkan nama gadis itu, dan kau dengan seenaknnya malah menanyakan kabarnya. Dasar kau ini!!” omel pria berkemeja putih itu.

Pemuda itu pun berlari menembus hujan yang telah turun dengan derasnya pada hari itu. Memang, cuaca akhir-akhir ini tak bisa diharapkan. Pagi bisa saja cerahnya minta ampun, tapi jangan harap siang maupun sore juga cerah, karena hujan tak akan mengenal waktu. Jika ia ingin turun ya turun saja, tak kan dia memilih pagi, siang, sore, bahkan malam.

Namun, hujan hari itu benar-benar lebat bahkan diiringi oleh petir yang menyambar dengan merajalela. Ditengah kalapnya ia berlari menembus hujan, ia tak menyadari kalau dari tikungan di seberang jalan itu, melaju sebuah truk yang agak sedikit oleng karena jalanan yang berubah menjadi licin karena hujan. Truk itu pun mengeluarkan suara peringatan yang membahana di tengah hujan.

Namun, sepertinya pemuda itu tidak mendengar atau malah pura-pura tak mendengar, ia malah berdiri dengan tenangnya seolah-olah memang sudah bertekad untuk mengakhiri hidupnya, karena bukannya beranjak ke tepi ia malah memilih diam di tengah jalan. Benar-benar cari mati pamuda itu.

“TIRTA AWAAASSSS…..!!!!”

Bahkan teriakan peringatan itu pun tak dihiraukannya. Si pemilik nama itu malah memejamkan mata, dan menarik napas panjang. Seolah menyiapkan dirinya sendiri untuk menerima apa yang akan terjadi padanya.

“Tirta…. Papa mohon Nak… menyingkir dari situ!!!”

“sudahlah Pa!!! papa ngga’ usah menghiraukan Tirta lagi, bukannya selama ini papa juga seperti itu!!” ujarnya ketus.

“apa yang kau katakan Nak… cepat menyingkir dari situ!!”

“Sudahlah Pa!!! biarkan Tirta menyusul mama!!! Tirta udah ngga’ sanggup hidup di dunia ini lagi Pa!!”

“TIRTA..!!!”

“maafkan Tirta Pa… karena selama ini Tirta ngga’ bisa jadi anak yang baik buat papa, Tirta harap setelah Tirta pergi, papa bisa hidup lebih baik dari sekarang, papa juga ngga’ usah merasa bersalah, karena Tirta pergi dengann suka rela, Tirta sayang sama papa, tapi Tirta juga ngga’ tahan kalau diperlakukan seperti ini terus Pa… Tirta ngerti, kalo’ papa bersikap seperti itu karena papa nyesel ngga’ bisa nglindungin mama, tapi Tirta ngga’ mau disalahin terus Pa… Tirta capek, Tirta lelah. Capek, karena harus terus menghindar dari kenyataan yang terus menerus pahit. Lelah, karena menghadapi kenyataan bahwa Tirta hanya menjadi penyebab orang-orang yang Tirta sayangi pergi ninggalin Tirta sendiri. Dari pada Tirta harus kehilangan orang yang Tirta sayangi lagi, lebih baik Tirta pergi dari dunia ini secepatnya. Tirta sayang sama papa. Sayang banget Pa… semoga papa bisa hidup bahagia setelah Tirta pergi. Selamat tinggal Pa…” uajar Tirta lirih, seraya memejamkan matanya, menunggu sesuatu itu untuk membawanya pergi dari dunia ini.

“Tirta…. Jangan lakukan ini Nak… maafkan papa karena selama ini sudah bersikap seperti itu pada mu!! Papa mohon Naak…. Jangan berbuat seperti ini…”

“mama… kalo’nanti Tirta datang nemuin mama, jangan marahin Tirta ya Ma… karena Tirta udah bikin papa jadi sendirian di dunia ini. Tirta kangeeenn samaa mama… kangen lihat senyum mama… kangen belaian mama…. Haahhaaa… bahkan Tirta kangen juga sama omelannya mama…
Ma.. bentar lagi Tirta pergi nyusul mama… mama siapin kejutan ya buat Tirta. Hehehehee… Tirta udah siap buat ketemu Mama… Tirta kengen mama…” ujarnya dalam hati, dan tak terasa air mata pun telah mengalir dari sudut-sudut matanya yang terpejam menunggu terjadinya peristiwa yang mengantarnya pergi ke tempat di mana mamanya tinggal sekarang.

“TIRTA…!!!! Pergi dari situ Nak..!!!!” Teriak pak Rahrjo yang melihat truk yang melaju tak terkendali itu semakin dekat dengan anaknya yang tak seinchi pun bergeming dari tempatnya berdiri. Klakson truk itu pun terus membahana untuk menyadarkan pemuda itu agar menyingkir dari tempatnya berdiri sekarang.

“Embuunn… maafin aku yaa… aku ngga’ bisa ngelindungin kamu, dan malah bikin kamu jadi terluka karena aku. Maafin aku Mbun… aku tau, kamu pasti bakal susah maafin aku, tapi aku juga ngga’ berharap banyak Mbun, aku ngerti kok kalo’ kamu ngga’ mau maafin aku. Aku kangen sama kamu Mbun… dimana kamu sekarang? Apa kamu baik-baik aja di sana tanpa aku di sisimu? Maafin aku yaa… karena aku harus ninggalin kamu dengan cara seperti ini, sebenernya aku mau bilang selamat tinggal dengan lebih baik, tapi aku udah ngga’ tahan Mbun… aku ngga’ mau bikin kamu lebih menderita dari sekarang, sudah cukup Tuhan ngga’ mengambil nyawa mu waktu itu, dan aku ngga’ mau jadi pemicu-Nya lagi. Selamat tinggal Embun… semoga kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari aku. Aku sayang kamu Embun. Selamanya…”

“TIRTAAAAAA……!!!!” teriak pak Raharjo saat truk itu dengan keras menghantam tubuh pemuda yang tak berdaya hingga tubuh pemuda itu terpental sejauh dua meter dari jalan raya dan baru berhenti setelah menghantam mahoni yang tertanam di pinggir jalan. “TIIDAAAAKKK….. TIIIIRRTTAAA…!!!!”

“Selamat tinggal Papa… selamat tinggal Embun… aku sayang kalian semua…” ujarnya lirih sebelum kesadarannya lenyap.

_____TBC_______

Memories of the Rain (3)

Lagi-lagi gue terbangun gara-gara suara yang ditimbulkan antara tetesan hujan dan atap bangunan ini. Siaal… apa ngga’ bosen sih, udah tadi dari pagi hujan, masa’ iya malam ini hujan lagi?! Ngga’ tau apa kalo’ gue tuh udah capek?! Capek buat ngadepin mimpi buruk ini lagi?! Setelah seharian ini gue terpuruk, gue pengen istirahat dari semua ini.

Tapi, ternyata bahkan alam pun tak memihak gue untuk bahagia. Hujan malam ini tak sederas sore tadi, namun efeknya tak kalah dahsyat dengan yang gue alamin tadi sore. Mau gerimis atau badai efek yang gue terima selalu sama. Menyesakkan dan mematikan.

Dan, film itu terputar kembali. Untuk kali ini, mengapa Kau selipkan kisah indah yang tak kan pernah kembali itu? Hhuuufft… film kali ini sukses bikin hati gue teriris dengan perlahan. Luka itu… luka yang tak pernah mengering dan bertambah lebar dan dalam seiring dengan semakin seringnya film ini berputar…

***
Jauuuhh sebelum gue terdampar di tempat gue sekarang, gue pernah ngerasain yang namanya bahagia. Yaa… ternyata kata dan rasa itu pernah menyentuh hidup gue. Walaupun itu hanya sebentar, nyaris seperti hembusan angin. Tapi gue bersyukur pernah ngalamin yang namanya bahagia.

Kebahagian gue ini ngga’ lepas dari usaha gadis yang selalu gigih membantu gue buat ngilangin trauma gue terhadap hujan. Gadis itu adalah Embun. Gadis yang bahkan namanya pun mencerminkan bagian dari diri gue. Untuk yang entah keberapa kalinya dia dengan sabarnya menenangkan gue yang mulai gelisah saat melihat air langit itu mulai turun membasahi bumi.

Waktu itu kami sedang menikmati indahnya pantai, ketika tiba-tiba saja musuh gue itu muncul dan membuyarkan semua keindahan yang tercipta kala itu. Berlari menembus hujan selalu membuat emosi gue turun naik. Setelah tiba di tempat yang teduh dan membersihkan diri dari percikan pasir, gue pun mulai mengumpat.

“cih.. kenapa sih harus ada hujan di dunia ini?! Bikin hidup orang sengsara aja…”

Dia hanya tersenyum menanggapi omelan gue. ”hujan itu bentuk ungkapan rindu langit pada bumi.” Katanya seranya menerawang menembus derasanya tetesan hujan yang sekarang mulai diwarnai dengan kilat yang saling menyambar.

“heh.. rindu langit. Ngga’ usah ngelantur deh… diatuh Cuma bisa buat orang sengsara aja terutama buat gue,,”

“kenapa sih… kamu segitu bencinya sama hujan?”

“karena gara-gara dia gue harus kehilangan orang yang gue sayang.”

“huufft… kamu masih menyalahkan hujan atas apa yang menimpa mama kamu?”

“gue ngga’ bakal bisa ngelupain apa yang gue alamin waktu itu…”

“tapi itu kan udah lama banget Ta, emang kamu ngga’ capek apa hidup kaya’ gini terus. Terus membenci hal yang sebenarnya ngga’ perlu kamu benci. Berdamailah dengan hujan Ta, berdamailah dengan Tuhan.”

“udah gue coba Mbun, tapi tetep aja bayangan itu ngga’ pernah ilang… apalagi bayangan orang-orang yang terus nyalahin gue atas peristiwa itu. Semakin hari semakin nyata aja. Gue juga capek dengan semu ini, tapi gue harus gimana!?”

Embun mengamati Tirta yang sedang menerawang melihat butiran-butiran air hujan yang terus membasahi bumi. Kenapa sih Ta, kamu ngga’ pernah bisa ngerelain mama kamu pergi. Kalo’ kamu kaya’ gini terus, kamu ngga’ bakal bisa bahagia. Ujar Embun dalam hati. Sedih.

“kata orang bila kita sabar menunggu hujan reda, maka disaat hujan itu telah pergi akan ada banyak keindahan yang tercipta. Pelangi lah… pohon-pohon yang terlihat lebih hijau.. bunga-bunga yang terlihat segar.. tapi bagi gue, semua itu semu. Karena apa yang gue dapet setelah hujan adalah kepedihan.”

Setelah itu, gue sama Embun pun memutuskan untuk pulang. Karena hari sudah mulai beranjak malam. Karena takut membuat Embun terlambat sampai di rumah, gue pun melajukan motor dengan sedikit kencang.

“pelan-pelan aja Ta… abis ujan nih, jalanan licin.”

“iya gue tau, gue bakal hati-hati kok. Gue Cuma ngga’ mau loe telat sampai rumah.”

Tapi gue tetep aja melajukan motor gue dengan kecepatan yang di atas rata-rata. Tinggal satu belokan lagi, maka sampailah kami di rumah Embun. Tapi… tiba-tiba aja dari tikungan tersebut muncul mobil box yang sedikit oleng. Gue yang kaget dengan kemunculan mobil itu pun berusaha menghindar, tapi naas, gara-gara jalanan licin karena habis turun hujan. Motor yang gue kendarai sedikit menyerempet bagian depan mobil, dan karena kecepatan motor gue tadi, sedikit senggolan tersebut berakibat fatal. Motor gue terpelanting lebih dari 2 meter sebelum akhirnya berhenti karena menabrak pohon yang ada di pinggir jalan.

Dengan keadaan setengah sadar, gue berusaha mencari Embun. Dengan sisa harapan yang gue punya, gue berharap dia ngga’ apa-apa. Dengan sisa-sisa kekuatan yang gue punya, akhirnya gue menemukan dia. Disana, di seberang jalan, dan terkapar tak berdaya, dengan darah segar yang mengalir dari pelipisnya. Gue cek nadinya, masih berdetak, walau lemah. Dan deru napasnya semakin lama semakin lemah.

“Jangan… jangan tinggalin gue… loe harus sadar Mbun… please… jangan buat gue lebih menderita dari ini… sadar Mbun…” ratap gue, berusaha menyadarkan dia dengan segala cara yang gue inget.

Akibat benturan yang tadi gue terima dan usaha gue buat mencari dan menyadarkan Embun, sisa tenaga gue pun habis terkuras, dan gue pun ngga’ tau apa yang terjadi selanjutnya. Yang gue tau, gue udah berada di ruangan ini dengan perban yang membalut tubuh lemah gue disana sini.

Hal yang pertama kali gue tanyakan adalah Embun, gue ngga’ mau merasakan perihnya kehilangan lagi. Dan berita yang gue dapet malah lebih dari itu. Embun, satu-satunya gadis yang gue sayang, harus menderita seumur hidupnya gara-gara gue. Dia terkena gegar otak dan patah kaki.
Gue merasa bersalah banget, atas apa yang terjadi padanya. Setelah itu, gue ngga’ pernah melihat dia lagi. Gue memutuskan untuk pergi dari kehidupannya, menjauh, pergi sejauh yang gue bisa. Pergi dari kehidupannya. Gue ngga’ sanggup menerima kenyataan yang telah gue perbuat bagi orang yang gue sayang.

Lebih baik gue pergi, jika gue berada di sini lebih lama, maka ngga’ ada yang menjamin bahwa hidupnya juga akan baik-baik saja. Gue adalah anak pembawa sial bagi orang-orang yang gue sayang. Sudah cukup banyak penderitaan yang harus ditanggung olehnya karena gue, dan gue ngga’ mau menambah lebih banyak penderitaan untuknya. Gue akan terus berdoa buat dia, biarlah gue yang menanggung semua derita ini asal dia bisa hidup bahagia. Dan gue juga ngga' bakal gampang buat maafin diri gue sendiri. Kali ini, gue mati untuk kedua kalinya.

***
Setiap kali teringat kenangan itu, gue selalu saja berharap bisa bertemu dengannya. Walaupun hanya sekali, hanya untuk meminta maaf atas apa yang udah gue perbuat ke dia waktu itu, dan untuk memastikan apakah dia baik-baik aja. Apakah dia bahagia? Apakah dia masih menganggap hujan sebagai bentuk rindu langit pada bumi? Dimana dia sekarang?

Gue sangat merindukannya. Amat sangat merindukannya. Merindukan senyumnya yang bagai pelangi di waktu hujan. Merindukan tatapan lembutnya yang mampu membuat gue melupakan sejenak kebencian gue pada hidup gue. Merindukan segala apa yang ada padanya. Tapi itu mustahil, gue ngga' akan ngingkarin janji gue sendiri, janji untuk tidak membuatnya lebih menderita dari sekarang.

“Embun…maafin gue,,,” desah gue. Sebelum akhirnya gue terlelap.

___TBC___

Memories of the Rain (2)

Langit mulai menampakkan tanda-tanda akan turun hujan. Mendung bergelayut dengan angkuhnya di langit kota kecil tempat gue tinggal bersama kedua orang tua gue dengan damai. Seakan tidak memperdulikan hujan yang sebentar lagi akan membasahi bumi, gue yang waktu itu baru berusia 8 tahun masih asyik bermain bola di halaman depan rumah gue yang sempit.

Di jalan depan rumah gue sudah mulai ramai dilalui kendaraan yang berlomba memacu kecepatan untuk saling berlomba sampai di rumah. Suara klakson kendaraan yang saling berebut tempat pun semakin meriuhkan suasana. Angin kencang yang mengarak awan pekat pun tak mau ketinggalan. Suasana yang temaram akibat tak adanya sinar mentari semakin membuat suasana menjelang senja lebih mencekam ketimbang biasanya.

“Tirta…!!” teriak seseorang memanggil gue. Namun, gue ngga’ peduli dan terus saja memainkan bola sepak. Kesayangan gue. Gue emang hobi banget sama yang namanya sepak bola. Tiap hari pasti gue habiskan buat main bola. Dari pada main PS yang cuma mencet-mencet ngga’ penting gitu, lebih asyik main bola.

“Tirta..!!!” teriaknya lagi. Huh… siapa sih yang teriak-teriak ngga’ penting gitu, ngga’ bisa liat apa kalo’ gue lagi asyik. Gue ngomel-ngomel dalam hati.

“Tirta!!!!”

Huuuh….. “Ya Maa….”

“Udah dulu main bolanya, sebentar lagi hujan…”

“Nanti aja Ma… lagi tanggung nih…”

“Kamu ini, kalo’ udah main bola sampe’ lupa waktu. Lihat tuh udah mulai gerimis. Cepetan masuk, nanti kamu sakit…”

“Iyaaa Maa… nanti..”

Dan seakan ngga’ memperdulikan teriakan mama, gue tetep aja asyik main, sedangkan hujan sudah mulai turun. Gue ngga’ peduli. Gue tetep aja main dengan asyiknya. Bagi gue main bola ditengah hujan begini menimbulkan sensasi tersendiri. Suara kecipak air waktu gue nendang bola membuat gue menjadi lebih bersemangat.

“Tirta!!! Jangan hujan-hujanan, cepat masuk…” teriak mama gue dengan cerewetnya. Huuuh,,, apa sih yang harus ditakuti dari hujan!? Lagipula hujan air ini, bukan hujan es kenapa harus seribut itu sih!?.

“Bentar lagi Ma…”
Aduh… sial bola yang dari tadi gue tendang-tendang meluncur dengan santainya ke jalan depan rumah gue. Untung aja ngga’ ada yang lewat. Lebih baik gue ambil dulu, daripada entar diambil orang. Hehehe…

“Tirta…!!! Mau kemana kamu Nak..?!” teriak mama lagi.

“Cuma mau ngambil bola bentar Ma… bolanya tadi ngegelinding ke jalan…”

“Ngga’ usah diambil sekarang… nanti aja ngambilnya kalau udah reda..”

“Tapi Ma… itu bola kesayangan Tirta…”

“Udah nanti aja, bahaya…”

“Cuma di depan itu aja kok Ma… lagian mumpung masih sepi..” kata gue seraya berjalan mengambil bola kesayangan gue. Untung aja tuh bola belom masuk got. “Sip… untung aja kamu belom masuk got. Hehehe…”

Tuh kan ngga’ ada apa-apa, lagian jalanan sepi gini bahaya dari mana? Ada-ada aja tuh mama, parnonya berlebihan banget.

“TIRTA AWWAAAASSS,,,,!!!!!”

APA?! Gue tersentak kaget mendengar jeritan mama, dan mencari sumber masalah yang membuat mama harus histeris seperti itu, gue pun melihat sekeliling dan terpaku. Dari sebelah kanan gue ada pick up yang melaju sedikit kencang dan parahnya lagi tuh pick up jalannya oleng, zig zag di jalan yang licin karena hujan yang semakin deras membasahi bukmi. Gue bengong ngga’ tau mau ngapain. Gue cuma bisa mejem sambil meluk bola kesayangan gue dan pasrah dengan apa yang bakal terjadi sama gue. Dalam hati gue berdoa sepenuh hati, agar aku masih diberi kesempatan satu kali lagi untuk hidup dan membahagiakan mama. Satu-satunya wanita di dunia ini yang paling aku sayangi.

Tapi, tiba-tiba aja tubuh kecil gue terlempar dengan keras dan membentur aspal jalan yang membuat gue mengerang kesakitan karenanya. Badan gue serasa remuk semua, dan gue yakin ada beberaapa bagian tubuh gue yang gue yakini besok bakalan biru-biru, dan luka gores di tangan dan pelipis gue berdenyut nyeri karena terkena air hujan. Belum selesai gue terkejut, tiba-tiba saja ada suara yang keras banget dekat dengan tempat gue jatuh. Dengan rasa penasaran gue melihat dengan takut-takut ke arah suara tadi berasal.

Gue membeku di tempat gue jatuh, pemandangan yang disuguhkan di depan mata gue, sukses bikin gue shock dan linglung sesaat. Di sana, tak jauh dari tempat gue tadi berdiri, tergeletak seorang wanita yang berlumuran darah, seseorang yang tadi berusaha menyelamatkan gue. Mama. Gue langsung berlari ke arah mama tergeletak ngga’ berdaya karena berusaha menyelamatkan gue. Darah mengalir dari pelipis dan hidungnya, membanjiri wajah dan daster kesayangannya. Beberapa bagian dasternya koyak dan menampakkan luka yang ngga' bakal sanggup gue bayangin. Wajah teduh itu kini terlihat pucat, kehilangan banyak darah.

“MAMA….!!! Mama…!!! Bangun Maa….” Teriak gue saat melihat kondisi mama yang jauh dari kata baik-baik aja. “Maa… maafin Tirta Ma… coba kalo’ tadi Tirta dengerin Mama, mama pasti ngga’ bakal kaya’ gini. Maa… bangun Ma…” isak gue di dekat mama yang udah mulai hilang kesadaran. Gue coba menggoncang tubuh lemah itu, berharap dengan begitu dia akan membuka matanya dan tersenyum padaku serta berkata, "mama ngga' papa kok sayang,," dengan suara khasnya. Tapi gue rasa itu ngga' mungkin, wajah mama terlihat semakin pucat, dan tubuhnya pun mulai terasa dingin.

Sementara itu para tetangga dan orang-orang yang ada di rumah gue udah mulai berdatangan, ingin tau apa yang menyebabkan suara menggelegar ditengah derasnya hujan di senja hari yang kelam ini. Sedangkan gue masih aja nangis di dekat mama sambil menggoncang badannya yang semakin lemah.

“Tirta…” ujar mama lemah.

“ya maa…” sahutku disela-sela isak tangisku.

“kamu ngga’ apa-apa kan sayang?”

“ngga’ papa ma… Cuma lecet-lecet aja. Tapi… tapi mama darahnya banyak banget…. Maafin Tirta ma….”

“Mama ngga’ papa kok… kamu ngga’ usah minta maaf… kamu ngga’ salah kok…” ujar mama sebelum perlahan mengatupkan kelopak matanya.

“Ma…. Mama…!!!” teriak ku lebih keras.

Tak lama kemudian ambulance membawa mama yang udah lemah ke rumah sakit untuk mendapat perawatan medis. Dari sejak mama dibawa ambulance sampai masuk ruang UGD. Papa sama sekali ngga’ bicara. Dia hanya melihat gue seakan-akan gue lah yang menyebabkan mama harus mengalami semua hal buruk ini.

Walaupun gue sadar, kalau kejadian ini melibatkan gue, tapi gue ngga’ suka tatapannya yang menghakimi gue. Asal loe tau aja… gue juga merasa bersalah, lebih dari itu, gue menyesal. Amat sangat menyesal. Lebih dari yang bisa loe bayangin. Mungkin ini akan menjadi penyesalan seumur hidup gue. Kalo’ aja gue bisa milih, lebih baik gue aja yang mengalami semua ini bukan dia. Tapi gue bisa apa?! Gue Cuma seorang anak kecil bodoh yang mencoba untuk menerima kenyataan, bahwa kejadian ini bukan sepenuhnya salah gue atau mama. Kejadian ini adalah takdir Tuhan buat gue dan mama. Gue yakin kalo' Tuhan pasti punya rencana tersendiri buat gue dan mama. Rencana yang indah, gue rasa.

Tak lama setelah mama dimasukan ke UGD, kabar buruk pun datang. Kata dokter yang menangani mama, mama telah berpulang karena kehabisan banyak darah. Papa hanya bisa menunduk tanpa daya, dan gue Cuma bisa bengong dan ngga’ percaya dengan apa yang dikatakan dokter tadi.
Tetapi saat gue memasuki ruangan UGD, di sana, di atas brankar, tertutup selimut putih, terbaring dengan damainya mama gue tercinta yang harus pergi karena menyelamatkan hidup gue. Menyadari kenyataan itu, gue pun tak kuasa menahan tangis. Hari itu gue menangis di samping jazad mama, gue ngeliat wajah damainya sebelum wajah itu harus tertutup tanah, setelah ini. Gue lontarkan segala penyesalan dan maaf gue buat mama. Tapi, mama tak kan pernah bisa mendengar semua penyesalan itu.

Setelah seluruh prosesi pemakaman yang cukup melelahkan berakhir, papa masih saja memberiku tatapan menghakimi itu. Setelah masa berkabung berlalu pun papa sama sekali ngga’ pernah bicara pada gue lagi, boro-boro bicara, natap gue aja ngga’. Seakan-akan gue itu ngga’ nyata. Dan hal ini diperburuk dengan sikap orang-orang disekeliling gue yang ikut-ikutan menyalahkan gue karena kejadian ini.

Gue adalah anak pembawa sial. Itu adalah anggapan yang udah terbetuk dalam diri mereka. Bahkan satu persatu temen gue pun pergi ninggalin gue. Selama 8 tahun, gue menjalani hidup yang menyengsarakan. Hidup yang mematikan bagi gue. Setiap kali gue ngeliat hujan, tiap kali bayang-bayang mama yang tergeletak berlumuran darah dan bayangan orang-orang yang menyalahkan gue muncul, menimbulkan seribu sesal dan penderitaan bagi gue. Itulah salah satu alasan kenapa gue benci banget sama hujan. Gara-gara hujan gue harus kehilangan mama, gara-gara hujan pula gue harus menjalani hidup yang mematikan ini. Gara-gara hujan, gue harus kehilangan hidup gue sendiri.

___TBC___

Memories of the Rain (1)

Hujan.

Gue benci banget sama kejadian alam yang satu ini. Dia selalu saja sukses bikin gue teringat lagi sama kenangan yang udah gue pendam. Kenangan itu muncul tiba-tiba dan terus beputar cepat layaknya roda komedi putar. Bekelebat tanpa henti mencoba meruntuhkan benteng yang gue buat. Cih, kenapa di dunia ini harus ada hujan?!

Hujan adalah bentuk ungkapan rindu langit pada bumi.” Kata seseorang yang penting dalam hidup gue, seseorang yang dulu penting.
“Loe becanda?! Rindu langit pada bumi?! Lelucon apa lagi ini?!” sahut ku waktu mendengar jawaban yang ia lontarkan.

Dia hanya tersenyum mendengar tanggapan dari gue. Sebentuk senyum yang ngga’ bakal gue lupain seumur hidup. Sebentuk senyum yang ngga’ bakal pernah gue liat lagi. Dan yang membuat gue kehilangan senyum itu adalah hujan. Dan itu menyebabkan semakin panjangnya daftar alasan gue membenci hujan.

Hujan, selalu sukses merebut kebahagian gue. Gue ngga' akan pernah ngerasain bahagia selama hujan terus ada di dunia ini. Di kala gue udah mulai berdamai dengannya, lagi-lagi dia membuat gue harus membencinya, terus membencinya. Waktu hujan turun adalah waktu di mana gue selalu merasa, gue harus pergi dari dunia ini. Pergi dan tak pernah mau kembali.

Tapi, jika gue pergi, berarti gue udah kalah sama hujan. Dan gue ngga' akan pernah mengaku kalah dengan sesuatu yang udah ngancurin hidup gue. Lagipula, walaupun gue pergi sejauh yang mungkin bisa gue capai, dia tetap ngga’ bakal pergi dari hidup gue. Dan itu akan selalu membuat gue lebih benci terhadap diri gue sendiri.

Gara-gara hujan pula gue bisa terdampar di tempat ini. Tempat di mana seharusnya ngga' gue tinggalin. Tempat ini adalah penjara tanpa kebebasan yang membelenggu hidup gue. Gue ngga’ bisa dan ngga’ bakal bisa lepas dari tempat ini. Ini seperti kutukan yang Tuhan kasih ke gue, karena gue udah ngebenci salah satu karunia-Nya. Apalagi gue menyandang nama yang merupakan bagian dari karunia-Nya tersebut.

“Aaaagghhh……… gue benci banget sama loe…!!!” teriak gue melepaskan semua beban yang ada di hati. “Gara-gara Loe gue harus kehilangan semua yang dulu pernah gue miliki. Gue membenci loe kemarin, hari ini, dan untuk masa depan. Selamanya!!”

Lagi-lagi gue kebangun gara-gara mimpi buruk, yang setiap hari semakin bertambah buruk. Sangat mengherankan jika gue kebangun gara-gara mimpi indah. Udah bertahun-tahun gue ngga’ pernah ngerasain yang namanya mimpi indah. Entahlah apa yang membuatnya pergi ninggalin gue.

Dan mimpi buruk ini menjadi lebih buruk lagi saat gue melihat ke luar jendela dan menemukan musuh bebuyutan gue sudah beraksi. Hujan. Huh, kenapa sih akhir-akhir ini sering banget hujan? Kata orang sih gara-gara global warming makanya cuaca juga jadi ngga’ jelas.

Tapi, kalo’ gue boleh minta sih, gue bakal lebih milih panas terus ketimbang hujan terus. Aaahh…… gara-gara ngeliyat hujan, film tentang lembaran mimpi buruk gue berputar tanpa gue bisa milih. Kenapa harus film yang ini yang keputer? Film ini adalah film yang paling gue benci.

___TBC___

April Mop

April Mop.
seperti yang udah kita tau, setiap tanggal 1 April tiap tahunnya ada ajaa orang yang melakukan kejailan atau lebih tepatnya membohongi orang lain, dan hal itu cuma buat iseng" doank alias buat hepi"an aja,,,dan yang dikerjain ngga' boleeh maraaah,,, *karena itu April Mop*

sejarah April Mop itu sendiri q juga udah lupa" inget,,, tapi yang jelas, di tahun" sebelum tahun 2011 kemarin agenda April Mop cuma sekedar rencana aja. rencana seru buat ngerjain orang. kebohongan juga kebohongan yang kecil" aja,,, ngga' kaya' Apeil Mop 2011 kemarin.

 hari itu, di awali dengan santai kaya' di pantai,,,
beranjak siang,,,
setelah perkuliahan selesai *lupa kuliah apa*, yang tertinggal di kelas cuma ada lebih kurang 3/4 orang. yaitu, Q, temen q yg jadi korban *dicerita bohongan kami* dan seorang lagi yg jadi tersangka *penyebar kebohongan*.

cerita di awali dari obrolan ringan ala mahasiswaa,,
"eehh,,, hari ini April Mop lhoo,,,?? kamu orang tau g??" kata temen q *lupa yg mana*
"tauu laahh,,,, terus ngapa?" sahut q, sambil ngerjain entah apa *lupa juga, waktu itu ada tugas yaa,,??*
"gimana kalo' kita ngerjain anak" yg lain?" usul temen q yg satu lagi *agk'a sih yg suka usil itu yg nomong*
"ngerjain apa??" tanya kita orang.
"bilang aja gini, si M *inisial aja* keserempet depan kampus gituu,,," usulnya.
"yakiin loo,,,??? keserempet beneran tau rasa loo,," kata temn q yg satu lagi.
"aallaaahhh,,, keserempet kan bisa aja keserempet rezeki, depan kampus ya ga'?" kata q, biar seolah" kita ngga' murni bohong.
"ya udah gitu aja, tapi kata" nya gimana??" kata temen q yg jdi tersangka.kami rencana nya mau nyebarin berita kalo' temen kami yg berinisial M itu keserempet di depan kampus lewat SMS.

"gini aja,,, TEMEN" GIMANA NIIH,,, si M KESEREMPET DEPAN KAMPUS..." usulnya *si Korban dalam cerita*
"waaahh,,, kurang heboh tuh beritanya,,," timpal q.
"ya udah gimana doonnkk,,??" kata si tersangka.
"haaa,,!! gini aja tambahin ADA YANG PUNYA NOMER KAKAK NYA NGGA'?? KITA MAU NGUBUNGIN KELUARGANYA TAPI NGGA' TAU NOMERNYA,,, gitu aja,,," tambah si korban.
"iyaaa,,, iyaaa,,, gitu aja,,," tambah q.

"kamu orang ini,,, dosa tau,," kata temen q yang *sok* alim ngasih nasihat ke kami.
"haalllaaahh,,,, cuma sekali ini doank P,," kata si korban.
"iyaa,,, pumpung lgi April Mop," kata q lagi.
"q ngga' ikut"an yaa,,,," katanya *sok" cuci tangan*

"ya udaahh buruan kirim,,,""eeh,,, kirim ke anak" kostan Hawa aja,,, mereka kan yg suka gupek," usul si tersangka.
"tapi siapa yang mau ngirim?" kata q.

dilema menghadang, pasalnya kalo' yang ngirim tuh sms si M, pasti bakal banyak yg g percya, kalo' yg ngirim q, juga pasti pada ragu", soalnya q juga udah lumayan sering ngerjain anak" lewat sms. jadi diputuskanlah si N yg ngirim tuh sms."iyaa N,,, kamu aja, kalo' kamu pasti pada percaya,," kata si korban.
alhasil terkirimlah sms *setan* itu dengan format,,"TEMEN" GAAWWAAATT,,, si M KESEREMPET DEPAN KAMPUS. ADA YANG TAU NOMER KAKAKNYA NGGA'?? KITA MAU NGUBUNGIN KELUARGANYA NII,,," *lebih kurang gitu lah isinya*

"eeehh,,, kirim juga ke si A, dia kan cepet gupek juga,,," usul q.
"waaahh,,, iya tuuh,,, jangan lupa ank kostan q jugaa,," tambah si korban.

daaannn,,,
setelah sms tersebut tersebar, kita keluar kelas buat ngecek hasilnya. disaat mau keluar lorong, kami ragu",,,"eeehh,,,, M kamu jngn keluar dulu,,, tar malah ketauan," cegah tersangka.
"iyaaa,,, M, kamu keluarnya tar aja,,," kata q, sambil ngunci pintu kelas.
"eeehh,,, P, kamu juga jngan keluar duluu,,," cegah kita ke si alim.
"aku tuh mau pulaangg,,," katanya sambil tetep lanjut,,,

disaat lagi pada tegang nungguin reaksi korban sms, q iseng lah ngecek hp q,,, dan ternyata,,,
"eeehh,,,, barusan aja si A nelpon, tapi berhubung g kerasa g ta' angkat" kata q, yang suksees bikin nyengir ke2 temn q.
"ayoo kita liyaat ke depan"
akhirnya kami bertiga jalan keluar menuju depan kampus, dan disaat kami tiba di dpan kantor, hp q bergetar lagi, tanda ada yang nelpon, dan saat melihat ID Callnya, q kaget.."eeehh,,,, si A nelpon lagi,," kata q *sedikit* panik.
"angkat aja,,,, angkat ajaa,,,," kata kedua temen q lagi,,,
"tapi q harus ngomong apaa,,???" kata q.
"ya udah biar si P aja yg ngomong,," usul tersangka.
"yaa,, P, dia kan percya sama kamu," kata korban menegaskan.

alhasil, si P lah yg ngangkat tuh telpon,,
"haloo,,, *suara sedikt panik* iyyaaa A,,, depan kampus,,, iyaaa,,, aduuuhh... q ngga' tau niiih,,,, ne kita orng lagi ngurusin dia,,,, iya masih dikmpus,,, mana darahnya banyak lagi,,,, iya A cepetan geh kesini"
tuuuttt,,, tuuuut,,,,panggilan terputus dan kami panik lagi mau ngumpet dimana,,,
saat lagi gupek mau ngumpet, dari jauh keliatanlah motor si A memasuki hlman kmpus dengan kecepatan yg bisa dibilang ngebut.

"wuuuaaadduuuhh,,,, gawaaaatt,,,, gaawwaaattt,,,, ngumpet dimana niihh,,,???" seru kita panik dan nyebar nyari tempat ngumpet yg baik. q ama si tersangka ngumpet dalam kantor, dan si korban ngumpet di sisi lain gedung.
setelah main petak umpet yg g berujung, akhirnya si korban nongolin diri, si A yg tau lagi dikerjain marah" ngga' jelas. kita maah cuma cengar cengir sambil ketawa ngakak,,,akhirnya setelah kerusuhan dalam kampus mereda, kami pulang dan di gerbang kami liat temen kostan'a M si D, lari" kocar kacir nemuin kami dan mara", dia malah udah sempet ngira si M udah dibawa  ke RS berhubung tadi dia smpet ngeliyat mobil Ambulance lewat depan kampus. setelah kita ceritain yang sebenernya dia langsung lemes, dan ngumpat-ngmpat ngga' jelas.

yang heboh adalah reaksi dari kostan Hawa, ada yg terburu" dateng sambil bawa motor, ada yang jalan kaki *duuuuhhh,,, jadi merasa bersalah neee,,,*dari cerita mereka, ada yang udah tidur, langsung kebangun gara" dapet sms *setan* itu,,, ada yang lagi tidur"an jadi langsung bangun"an, ada yang lagi masak langsung ninggalin masakannya terus lari ke kampus,,,yaaahhh,,, setelah hari berlalu kejadian itu jadi sedikit cerita penghibur diantara kami. dan satu pesan moral dari kejadian ini adalah:
1. Teman adalah sesuatu yang sangat berharga dan TAK KAN tergantikan dengan yang lain.
2. saat kau dalam keadaan terdesak, TEMAN lah yang kan jadi SUPERHERO yang pertama kali datang membantumu.
3. ikatan pertemanan tak kan dapat dibeli, bahkan dengan sebongkah berlian pun.

inilah akhir dari kisah April Mop yang mengharukan. adakah kejahilan pada April Mop pada tahun ini?? kita tunggu saja,,,the last word is HARGAILAH TEMAN MU SEBELUM KAU KEHILANGAN MEREKA,,,!!!!

Arigatou Gozaimashu minna yang udah sempet meluangkan waktu buat baca Corat Coret edisi April Mop.... :)
sampai jumpa di Corat Coret edisi berikutnya,,,

SAYONARA,,,!!!! :)