Pages

Ardhian's Zone

WELCOME to My Zone,,,
Here, You can read my Creation,,
like story or something like that,, :)
Enjoy Your Visit :)

Sabtu, 28 Januari 2012

Memories of the Rain (4)

Sementara itu di tempat lain…

“bagaimana Dok? Apa ada perkembangan dengan pasien 314?” Tanya seorang pria paruh baya kepada dokter yang tengah memeriksa data beberpa pasiennya. Tampak dari raut wajah pria itu guratan kesedihan dan sebuah harapan yang mendalam.

“dari pengamatan kami selama satu minggu ini, bukannya membaik tapi semakin memburuk. Dia lebih sering berontak, walau tidak separah yang dulu.” Jawab dokter itu setelah memeriksa beberapa kertas.

“apa dalam seminggu ini sering hujan, dok?”

“lumayan sering, dalam sehari malah pernah tidak cerah semenit pun. Mendung. Itulah mengapa saya memanggil bapak kemari.”

“memang ada masalah apa Dok?” Tanya pria itu serius.

“dalam seminggu ini ada kelakuan yang tidak biasa yang ditunjukkan olehnya. Pemberontakan yang dia lakukan lebih emosional. Entah kejadian apa yang terlintas, sehingga membuatnya bertindak nekat seperti itu.”

“maksud dokter dengan bertindak nekat itu apa?”

“waktu itu, hujan turun lumayan deras. Dan kami sudah berjaga-jaga jika dia kembali memberontak. Tapi waktu itu, setelah dia mengamuk seperti biasa, dia juga berusah memotong nadinya dengan pecahan kaca yang ada di kamarnya. Untung saja kami datang tepat waktu dan dapat mencegahnya melakukan tindakan nekad itu. Maaf pak Raharjo, jika saya boleh tahu apa ada kejadian berat yang dialami anak itu sehingga dia bisa berbuat nekat seperti itu?”

“apakah waktu itu hujan yang turun, deras dan sering muncul petir Dok?” Tanya pria itu sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan oleh dokter Ardi.

“benar, waktu itu hujan deras dan berpetir.” Jawab dokter Ardi mantap.

“ternyata anak itu memang belum bisa memaafkan dirinya sendiri.” Desah pria itu murung. Dan perlahan kenangan kejadian dua tahun lalu berpuatar dalam ingatannya.

***

Dua tahun lalu, ada sebuah moment yang seharusnya menjadi moment bahagia bagi keluarga Raharjo, anak satu-satunya dari keluarga Raharjo akan mendapatkan gelar Sarjana Teknik dari sebuah universitas terkemuka. Persiapan untuk wisuda pun sudah matang. Mulai dari toga, jas, keluarga yang akan mengikuti prosesi tersebut, serta pesta perayaan wisuda pun sudah fix.

Pagi itu, pada hari bersejarah ini pak Raharjo melupakan sejenak perlakuan dinginnya terhadap anak semata wayangnya, yang selama ini telah dianggap sebagai anak pembawa sial bagi keluarga Raharjo. Dia ingin menjadi orang tua seutuhnya bagi anak laki-laki satu-satunya itu.

“kamu udah siap berangkat Ta?” sapa pak Raharjo ketika melihat anaknya turun dari lantai dua.

Anak lelaki itu pun hanya menatap dingin orang yang bertanya, dan terus melangkahkan kakinya keluar. Semenjak kejadian yang membuat ia harus kehilangan orang yang sangat berarti baginya, wajah itu, dan tatapan mata itu seakan tak bernyawa. Hampa, datar, dan tak berekspresi.

“maafkan papa Nak, semua ini salah papa, tak seharusnya papa bersikap seperti itu pada mu. Maafkan papa….” Ujar pak Raharjo dalam hati.

Di luar, seluruh keluarga besar Raharjo telah siap berangkat menuju aula tempat prosesi wisuda berlangsung. Ada kakek, nenek, paman,bibi, keponakan, sepupu, lengkap. Setelah semua dirasa telah siap, akhirnya rombongan keluarga besar Raharjo ini pun meluncur ke tempat yang telah ditunggu-tunggu selama empat tahun ini. Aula wisuda.

Setelah semua prosesi dijalankan, acara selanjutnya adalah sesi photo-photo. Setelah semua kebagian photo bersama sang wisudawan, akhirnya seluruh rombongan pengiring wisudawan ini pun bertolak menuju ke tempat pesta kelulusan.

Pesta kelulusan itu pun berlansung sangat meriah, seluruh keluarga memberikan ucapan selamat kepada lelaki yang telah berhasil mendapatkan gelar sarjana pertamanya tersebut. Namun anehnya, lelaki itu tak menampakkan raut bahagia layaknya seorang yang telah diwisuda. Wajah dan ekspresi itu tetap datar dan seakan tak bernyawa.

“sebenarnya ada apa dengan anak itu, bukannya pasang wajah bahagia malah ekspresi seperti itu yang Nampak.” Ujar seorang anggota keluarga Raharjo di sudut ruangan pesta.

“entahlah, tapi… bukannya anak itu emang udah dari dulu sikapnya kaya’ gitu, kamu juga pasti tau kan…” timpal anggota keluarga yang lain.

“yaa… yaa… yaa… gara-gara kejadian itu kan dia jadi mulai bertingkah aneh, tapi… seingatku belum lama ini dia bisa bertingkah normal kaya' anak-anak yang lain,”

“benarkah itu?! Aah… tapi masa’ iya sih, bukannya anak itu…”

“iyaa… aku tau itu, memang pada saat itu dia tidak sendiri…” potong orang yang berkemeja putih itu.

“tidak sendiri? Apa maksud mu? Bukankah anak itu selalu sendiri, aku saja tak pernah melihatnya bergaul dengan orang lain.” Timpal orang yang berjas kotak-kotak warna biru.

“memang, aku saja awalnya tak percaya dengan apa yang aku lihat, tapi setelah memastikannya sendiri, ternyata itu memang dia.”

“memang bagaimana keadaannnya saat kau bertemu dengannya, hingga membuatmu tak percaya seperti itu?”

“percaya atau tidak, dia hidup.”

“maksudmu?!”

“yaa… dia hidup, wajahnya benar-benar manampakkan ekspresi bahagia, dia tersenyum layaknya orang biasa, dia juga bisa tertawa dengan lepas, bahkan dia juga tak lupa bagaimana caranya bercanda. Benar-benar membuatku takjub, aku takkan lupa bagamana wajahnya ketika tertawa dan berekspresi seperti orang biasa.”

“benarkah apa yang kau katakan itu?”

“tentu saja!? Kamu kira aku membohongimu dengan segala cerita yang tak penting ini? Apa gunanya?!” timpal orang berkemeja putih itu dengan nada sedikit marah.

“maaf… maaf… bukannya aku tak percaya dengan ceritamu itu, tapi… membayangkan dia tersenyum dan bercanda, benar-benar membuatku…”

“yaa… yaa… aku tau, tapi setelah itu, saat aku berjumpa dengannya lagi, benar-benar membuatku tak percaya. Dia tampak lebih mati ketimbang yang dulu.”

“maksudmu?”

“yaa… kamu kan dapat melihat sendiri bagaimana keadaan dia sekarang, bukankah itu lebih buruk ketimbang dia yang dulu. Memangnya kamu tak merasakan perubahan itu?!”

“yaaah… memang, akhir-akhir ini aku juga merasa dia menjadi jauuh lebih aneh dari dia yang dulu. Oya, ngomong-ngomong katamu tadi waktu kau berjumpa dengannya dulu dia tak sendiri, memangnya dia bersama siapa?”

“aah yaa… aku hampir saja lupa, waktu itu dia bersama seorang gadis yang cantik sekali, benar-benar sebuah mukjizat dia bisa bertemu dengan gadis yang baik hati dan lemah lembut seperti itu.” Ujar pria berkemeja putih itu seraya menerawang.

“seorang gadis?? Benarkah itu?! Jangan-jangan itu kekasihnya?!”

“mungkin saja, dan dia hanya telihat hidup ketika dia bersama gadis itu.”

“lalu di mana gadis itu sekarang? Kalau memang dia benar-benar bisa menghidupkan anak itu, lebih baik segera saja kita nikahkan mereka. Aku benar-benar telah bosan melihat wajah matinya itu.”

“masalahnya adalah aku juga tak tahu di mana keberadaan gadis itu sekarang, dan saat aku berjumpa dengannya lagi, tak ada seorang gadis pun yang berada di sampingnya. Dan dia kembali mati seperti sekarang ini.”

“benarkah yang kau katakan itu?! Jangan-jangan gadis itu…”

“hei, jangan sembarangan bicara kau!! Kau tidak akan mengatakan jika gadis itu ternyata sudaah…”

“hei, aku kan hanya menduga-duga. Coba kau ingat-ingat kembali, apa coba yang bisa membuatnya mati seperti ini jika bukan kehilangan orang yang sangat berarti baginya.”

“benar juga apa yang kau katakan itu. Tapi aku berharap dapat berjumpa dengan gadis itu sekali lagi dan memintanya untuk menghidupakan kembali anak itu. Aku benar-benar ingin melihat wajah itu tertawa lagi.” Ujar pria berkemeja putih itu menewarang.

“ngomong-ngomong siapa nama gadis yang telah berhasil membuat keponakan kita itu hidup kembali?”

“anehnya nama gadis itu menunjukkan kalau dia memang tercipta hanya untuk keponakan kita itu.”

“memangnya siapa nama gadis itu?”

“nama gadis itu adalah…..”

“….??”

“Embun.”

***
Pesta yang dilangsungkan di salah satu hotel bintang lima itu pun berakhir sudah. Para tamu yang menyesaki ruangan pesta itu pun berangsur-angsur pergi meninggalkan ruangan pesta untuk kembali ke rumah masing-masing. Hanya tersisa sedikit tamu yang masih berada di ruangan itu. Tampak seorang pria berkemeja putih menghampiri sang raja pesta hari itu.

“haaaiii….. selamat ya… akhirnya kamu dapat juga gelar yang selama ini kamu idam-idamkan.” Ujarnya seraya mengulurkan tangannya untuk mengucapkan selamat yang disambut dengan malas oleh pemilik tangan satunya.

“terima kasih.” Ujarnya datar.

“bagaimana perasaan mu saat ini? Apakah kau bahagia sekarang?” Tanya pria itu ramah.

“heeemmm…”

“ngomong-ngomong, bagaimana kabar gadis yang kau perkenalkan pada ku waktu itu? Dari tadi aku bahkan tak melihatnya, apa dia tak datang ke pesta ini?” Tanya pria itu yang sukses membuat wajah keponkanannya itu lebih kelam dari yang sebelumnya. Bahkan wajah itu pun sudah terlihat pucat.

“heei… apa yang terjadi padamu? Apa kau sakit? Wajahmu pucat.”

“jangan…” ujarnya lemah.

“jangan? Jangan apa maksudmu?!”

“jangaaaann…. Ku mohon…” ujarnya semakin melemah.

“heeii…. Apa maksud mu?! Aku tak mengerti apa yang kau katakan. Aku hanya ingin tahu bagaimana kabar gadis yang bernama Embun itu…”

“JANGAN SEBUT NAMA ITU LAGI!!!” teriaknya kalap. Baginya, menyebutkan nama itu sama saja dengan membunuhnya secara perlahan. Karena nama itu mempunyai banyak kenangan, dan menyebutkan nama itu kembali hanya akan menambah jumlah luka yang talah meradang di hatinya.

“Jangan sebut nama itu lagi…. Ku mohoonnn…” ujarnya lemah.

“baiklaaah…. Baiklaah…. Aku tak akan menyebutnya lagi. Maafkan aku… jadi, bisakah kau tenangkan dirimu. Kau tak mau jadi pusat perhatian kan sekarang.”

Pemuda itu hanya mengangguk lemah.

“jadi… bagaimana kabarnya? Apakah dia baik-baik saja? Mengapa dia tak hadir di pesta kelulusanmu ini?” ujar pria berkemeja kotak-kotak yang baru saja hadir dalam pembicaraan itu.

“SUDAH KU BILANG JANGAN BICARA TENTANG DIA LAGI!!!” ujarnya seraya berlari meniggalkan ruangan pesta.

“dasar kau ini, memang tak pandai melihat situasi. Tak tahukah kau tadi aku dibentaknya karena menyebutkan nama gadis itu, dan kau dengan seenaknnya malah menanyakan kabarnya. Dasar kau ini!!” omel pria berkemeja putih itu.

Pemuda itu pun berlari menembus hujan yang telah turun dengan derasnya pada hari itu. Memang, cuaca akhir-akhir ini tak bisa diharapkan. Pagi bisa saja cerahnya minta ampun, tapi jangan harap siang maupun sore juga cerah, karena hujan tak akan mengenal waktu. Jika ia ingin turun ya turun saja, tak kan dia memilih pagi, siang, sore, bahkan malam.

Namun, hujan hari itu benar-benar lebat bahkan diiringi oleh petir yang menyambar dengan merajalela. Ditengah kalapnya ia berlari menembus hujan, ia tak menyadari kalau dari tikungan di seberang jalan itu, melaju sebuah truk yang agak sedikit oleng karena jalanan yang berubah menjadi licin karena hujan. Truk itu pun mengeluarkan suara peringatan yang membahana di tengah hujan.

Namun, sepertinya pemuda itu tidak mendengar atau malah pura-pura tak mendengar, ia malah berdiri dengan tenangnya seolah-olah memang sudah bertekad untuk mengakhiri hidupnya, karena bukannya beranjak ke tepi ia malah memilih diam di tengah jalan. Benar-benar cari mati pamuda itu.

“TIRTA AWAAASSSS…..!!!!”

Bahkan teriakan peringatan itu pun tak dihiraukannya. Si pemilik nama itu malah memejamkan mata, dan menarik napas panjang. Seolah menyiapkan dirinya sendiri untuk menerima apa yang akan terjadi padanya.

“Tirta…. Papa mohon Nak… menyingkir dari situ!!!”

“sudahlah Pa!!! papa ngga’ usah menghiraukan Tirta lagi, bukannya selama ini papa juga seperti itu!!” ujarnya ketus.

“apa yang kau katakan Nak… cepat menyingkir dari situ!!”

“Sudahlah Pa!!! biarkan Tirta menyusul mama!!! Tirta udah ngga’ sanggup hidup di dunia ini lagi Pa!!”

“TIRTA..!!!”

“maafkan Tirta Pa… karena selama ini Tirta ngga’ bisa jadi anak yang baik buat papa, Tirta harap setelah Tirta pergi, papa bisa hidup lebih baik dari sekarang, papa juga ngga’ usah merasa bersalah, karena Tirta pergi dengann suka rela, Tirta sayang sama papa, tapi Tirta juga ngga’ tahan kalau diperlakukan seperti ini terus Pa… Tirta ngerti, kalo’ papa bersikap seperti itu karena papa nyesel ngga’ bisa nglindungin mama, tapi Tirta ngga’ mau disalahin terus Pa… Tirta capek, Tirta lelah. Capek, karena harus terus menghindar dari kenyataan yang terus menerus pahit. Lelah, karena menghadapi kenyataan bahwa Tirta hanya menjadi penyebab orang-orang yang Tirta sayangi pergi ninggalin Tirta sendiri. Dari pada Tirta harus kehilangan orang yang Tirta sayangi lagi, lebih baik Tirta pergi dari dunia ini secepatnya. Tirta sayang sama papa. Sayang banget Pa… semoga papa bisa hidup bahagia setelah Tirta pergi. Selamat tinggal Pa…” uajar Tirta lirih, seraya memejamkan matanya, menunggu sesuatu itu untuk membawanya pergi dari dunia ini.

“Tirta…. Jangan lakukan ini Nak… maafkan papa karena selama ini sudah bersikap seperti itu pada mu!! Papa mohon Naak…. Jangan berbuat seperti ini…”

“mama… kalo’nanti Tirta datang nemuin mama, jangan marahin Tirta ya Ma… karena Tirta udah bikin papa jadi sendirian di dunia ini. Tirta kangeeenn samaa mama… kangen lihat senyum mama… kangen belaian mama…. Haahhaaa… bahkan Tirta kangen juga sama omelannya mama…
Ma.. bentar lagi Tirta pergi nyusul mama… mama siapin kejutan ya buat Tirta. Hehehehee… Tirta udah siap buat ketemu Mama… Tirta kengen mama…” ujarnya dalam hati, dan tak terasa air mata pun telah mengalir dari sudut-sudut matanya yang terpejam menunggu terjadinya peristiwa yang mengantarnya pergi ke tempat di mana mamanya tinggal sekarang.

“TIRTA…!!!! Pergi dari situ Nak..!!!!” Teriak pak Rahrjo yang melihat truk yang melaju tak terkendali itu semakin dekat dengan anaknya yang tak seinchi pun bergeming dari tempatnya berdiri. Klakson truk itu pun terus membahana untuk menyadarkan pemuda itu agar menyingkir dari tempatnya berdiri sekarang.

“Embuunn… maafin aku yaa… aku ngga’ bisa ngelindungin kamu, dan malah bikin kamu jadi terluka karena aku. Maafin aku Mbun… aku tau, kamu pasti bakal susah maafin aku, tapi aku juga ngga’ berharap banyak Mbun, aku ngerti kok kalo’ kamu ngga’ mau maafin aku. Aku kangen sama kamu Mbun… dimana kamu sekarang? Apa kamu baik-baik aja di sana tanpa aku di sisimu? Maafin aku yaa… karena aku harus ninggalin kamu dengan cara seperti ini, sebenernya aku mau bilang selamat tinggal dengan lebih baik, tapi aku udah ngga’ tahan Mbun… aku ngga’ mau bikin kamu lebih menderita dari sekarang, sudah cukup Tuhan ngga’ mengambil nyawa mu waktu itu, dan aku ngga’ mau jadi pemicu-Nya lagi. Selamat tinggal Embun… semoga kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari aku. Aku sayang kamu Embun. Selamanya…”

“TIRTAAAAAA……!!!!” teriak pak Raharjo saat truk itu dengan keras menghantam tubuh pemuda yang tak berdaya hingga tubuh pemuda itu terpental sejauh dua meter dari jalan raya dan baru berhenti setelah menghantam mahoni yang tertanam di pinggir jalan. “TIIDAAAAKKK….. TIIIIRRTTAAA…!!!!”

“Selamat tinggal Papa… selamat tinggal Embun… aku sayang kalian semua…” ujarnya lirih sebelum kesadarannya lenyap.

_____TBC_______

Tidak ada komentar:

Posting Komentar