Lagi-lagi gue terbangun gara-gara suara yang ditimbulkan antara tetesan hujan dan atap bangunan ini. Siaal… apa ngga’ bosen sih, udah tadi dari pagi hujan, masa’ iya malam ini hujan lagi?! Ngga’ tau apa kalo’ gue tuh udah capek?! Capek buat ngadepin mimpi buruk ini lagi?! Setelah seharian ini gue terpuruk, gue pengen istirahat dari semua ini.
Tapi, ternyata bahkan alam pun tak memihak gue untuk bahagia. Hujan malam ini tak sederas sore tadi, namun efeknya tak kalah dahsyat dengan yang gue alamin tadi sore. Mau gerimis atau badai efek yang gue terima selalu sama. Menyesakkan dan mematikan.
Dan, film itu terputar kembali. Untuk kali ini, mengapa Kau selipkan kisah indah yang tak kan pernah kembali itu? Hhuuufft… film kali ini sukses bikin hati gue teriris dengan perlahan. Luka itu… luka yang tak pernah mengering dan bertambah lebar dan dalam seiring dengan semakin seringnya film ini berputar…
***
Jauuuhh sebelum gue terdampar di tempat gue sekarang, gue pernah ngerasain yang namanya bahagia. Yaa… ternyata kata dan rasa itu pernah menyentuh hidup gue. Walaupun itu hanya sebentar, nyaris seperti hembusan angin. Tapi gue bersyukur pernah ngalamin yang namanya bahagia.
Kebahagian gue ini ngga’ lepas dari usaha gadis yang selalu gigih membantu gue buat ngilangin trauma gue terhadap hujan. Gadis itu adalah Embun. Gadis yang bahkan namanya pun mencerminkan bagian dari diri gue. Untuk yang entah keberapa kalinya dia dengan sabarnya menenangkan gue yang mulai gelisah saat melihat air langit itu mulai turun membasahi bumi.
Waktu itu kami sedang menikmati indahnya pantai, ketika tiba-tiba saja musuh gue itu muncul dan membuyarkan semua keindahan yang tercipta kala itu. Berlari menembus hujan selalu membuat emosi gue turun naik. Setelah tiba di tempat yang teduh dan membersihkan diri dari percikan pasir, gue pun mulai mengumpat.
“cih.. kenapa sih harus ada hujan di dunia ini?! Bikin hidup orang sengsara aja…”
Dia hanya tersenyum menanggapi omelan gue. ”hujan itu bentuk ungkapan rindu langit pada bumi.” Katanya seranya menerawang menembus derasanya tetesan hujan yang sekarang mulai diwarnai dengan kilat yang saling menyambar.
“heh.. rindu langit. Ngga’ usah ngelantur deh… diatuh Cuma bisa buat orang sengsara aja terutama buat gue,,”
“kenapa sih… kamu segitu bencinya sama hujan?”
“karena gara-gara dia gue harus kehilangan orang yang gue sayang.”
“huufft… kamu masih menyalahkan hujan atas apa yang menimpa mama kamu?”
“gue ngga’ bakal bisa ngelupain apa yang gue alamin waktu itu…”
“tapi itu kan udah lama banget Ta, emang kamu ngga’ capek apa hidup kaya’ gini terus. Terus membenci hal yang sebenarnya ngga’ perlu kamu benci. Berdamailah dengan hujan Ta, berdamailah dengan Tuhan.”
“udah gue coba Mbun, tapi tetep aja bayangan itu ngga’ pernah ilang… apalagi bayangan orang-orang yang terus nyalahin gue atas peristiwa itu. Semakin hari semakin nyata aja. Gue juga capek dengan semu ini, tapi gue harus gimana!?”
Embun mengamati Tirta yang sedang menerawang melihat butiran-butiran air hujan yang terus membasahi bumi. Kenapa sih Ta, kamu ngga’ pernah bisa ngerelain mama kamu pergi. Kalo’ kamu kaya’ gini terus, kamu ngga’ bakal bisa bahagia. Ujar Embun dalam hati. Sedih.
“kata orang bila kita sabar menunggu hujan reda, maka disaat hujan itu telah pergi akan ada banyak keindahan yang tercipta. Pelangi lah… pohon-pohon yang terlihat lebih hijau.. bunga-bunga yang terlihat segar.. tapi bagi gue, semua itu semu. Karena apa yang gue dapet setelah hujan adalah kepedihan.”
Setelah itu, gue sama Embun pun memutuskan untuk pulang. Karena hari sudah mulai beranjak malam. Karena takut membuat Embun terlambat sampai di rumah, gue pun melajukan motor dengan sedikit kencang.
“pelan-pelan aja Ta… abis ujan nih, jalanan licin.”
“iya gue tau, gue bakal hati-hati kok. Gue Cuma ngga’ mau loe telat sampai rumah.”
Tapi gue tetep aja melajukan motor gue dengan kecepatan yang di atas rata-rata. Tinggal satu belokan lagi, maka sampailah kami di rumah Embun. Tapi… tiba-tiba aja dari tikungan tersebut muncul mobil box yang sedikit oleng. Gue yang kaget dengan kemunculan mobil itu pun berusaha menghindar, tapi naas, gara-gara jalanan licin karena habis turun hujan. Motor yang gue kendarai sedikit menyerempet bagian depan mobil, dan karena kecepatan motor gue tadi, sedikit senggolan tersebut berakibat fatal. Motor gue terpelanting lebih dari 2 meter sebelum akhirnya berhenti karena menabrak pohon yang ada di pinggir jalan.
Dengan keadaan setengah sadar, gue berusaha mencari Embun. Dengan sisa harapan yang gue punya, gue berharap dia ngga’ apa-apa. Dengan sisa-sisa kekuatan yang gue punya, akhirnya gue menemukan dia. Disana, di seberang jalan, dan terkapar tak berdaya, dengan darah segar yang mengalir dari pelipisnya. Gue cek nadinya, masih berdetak, walau lemah. Dan deru napasnya semakin lama semakin lemah.
“Jangan… jangan tinggalin gue… loe harus sadar Mbun… please… jangan buat gue lebih menderita dari ini… sadar Mbun…” ratap gue, berusaha menyadarkan dia dengan segala cara yang gue inget.
Akibat benturan yang tadi gue terima dan usaha gue buat mencari dan menyadarkan Embun, sisa tenaga gue pun habis terkuras, dan gue pun ngga’ tau apa yang terjadi selanjutnya. Yang gue tau, gue udah berada di ruangan ini dengan perban yang membalut tubuh lemah gue disana sini.
Hal yang pertama kali gue tanyakan adalah Embun, gue ngga’ mau merasakan perihnya kehilangan lagi. Dan berita yang gue dapet malah lebih dari itu. Embun, satu-satunya gadis yang gue sayang, harus menderita seumur hidupnya gara-gara gue. Dia terkena gegar otak dan patah kaki.
Gue merasa bersalah banget, atas apa yang terjadi padanya. Setelah itu, gue ngga’ pernah melihat dia lagi. Gue memutuskan untuk pergi dari kehidupannya, menjauh, pergi sejauh yang gue bisa. Pergi dari kehidupannya. Gue ngga’ sanggup menerima kenyataan yang telah gue perbuat bagi orang yang gue sayang.
Lebih baik gue pergi, jika gue berada di sini lebih lama, maka ngga’ ada yang menjamin bahwa hidupnya juga akan baik-baik saja. Gue adalah anak pembawa sial bagi orang-orang yang gue sayang. Sudah cukup banyak penderitaan yang harus ditanggung olehnya karena gue, dan gue ngga’ mau menambah lebih banyak penderitaan untuknya. Gue akan terus berdoa buat dia, biarlah gue yang menanggung semua derita ini asal dia bisa hidup bahagia. Dan gue juga ngga' bakal gampang buat maafin diri gue sendiri. Kali ini, gue mati untuk kedua kalinya.
***
Setiap kali teringat kenangan itu, gue selalu saja berharap bisa bertemu dengannya. Walaupun hanya sekali, hanya untuk meminta maaf atas apa yang udah gue perbuat ke dia waktu itu, dan untuk memastikan apakah dia baik-baik aja. Apakah dia bahagia? Apakah dia masih menganggap hujan sebagai bentuk rindu langit pada bumi? Dimana dia sekarang?
Gue sangat merindukannya. Amat sangat merindukannya. Merindukan senyumnya yang bagai pelangi di waktu hujan. Merindukan tatapan lembutnya yang mampu membuat gue melupakan sejenak kebencian gue pada hidup gue. Merindukan segala apa yang ada padanya. Tapi itu mustahil, gue ngga' akan ngingkarin janji gue sendiri, janji untuk tidak membuatnya lebih menderita dari sekarang.
“Embun…maafin gue,,,” desah gue. Sebelum akhirnya gue terlelap.
___TBC___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar