Pages

Ardhian's Zone

WELCOME to My Zone,,,
Here, You can read my Creation,,
like story or something like that,, :)
Enjoy Your Visit :)

Sabtu, 28 Januari 2012

Memories of the Rain (2)

Langit mulai menampakkan tanda-tanda akan turun hujan. Mendung bergelayut dengan angkuhnya di langit kota kecil tempat gue tinggal bersama kedua orang tua gue dengan damai. Seakan tidak memperdulikan hujan yang sebentar lagi akan membasahi bumi, gue yang waktu itu baru berusia 8 tahun masih asyik bermain bola di halaman depan rumah gue yang sempit.

Di jalan depan rumah gue sudah mulai ramai dilalui kendaraan yang berlomba memacu kecepatan untuk saling berlomba sampai di rumah. Suara klakson kendaraan yang saling berebut tempat pun semakin meriuhkan suasana. Angin kencang yang mengarak awan pekat pun tak mau ketinggalan. Suasana yang temaram akibat tak adanya sinar mentari semakin membuat suasana menjelang senja lebih mencekam ketimbang biasanya.

“Tirta…!!” teriak seseorang memanggil gue. Namun, gue ngga’ peduli dan terus saja memainkan bola sepak. Kesayangan gue. Gue emang hobi banget sama yang namanya sepak bola. Tiap hari pasti gue habiskan buat main bola. Dari pada main PS yang cuma mencet-mencet ngga’ penting gitu, lebih asyik main bola.

“Tirta..!!!” teriaknya lagi. Huh… siapa sih yang teriak-teriak ngga’ penting gitu, ngga’ bisa liat apa kalo’ gue lagi asyik. Gue ngomel-ngomel dalam hati.

“Tirta!!!!”

Huuuh….. “Ya Maa….”

“Udah dulu main bolanya, sebentar lagi hujan…”

“Nanti aja Ma… lagi tanggung nih…”

“Kamu ini, kalo’ udah main bola sampe’ lupa waktu. Lihat tuh udah mulai gerimis. Cepetan masuk, nanti kamu sakit…”

“Iyaaa Maa… nanti..”

Dan seakan ngga’ memperdulikan teriakan mama, gue tetep aja asyik main, sedangkan hujan sudah mulai turun. Gue ngga’ peduli. Gue tetep aja main dengan asyiknya. Bagi gue main bola ditengah hujan begini menimbulkan sensasi tersendiri. Suara kecipak air waktu gue nendang bola membuat gue menjadi lebih bersemangat.

“Tirta!!! Jangan hujan-hujanan, cepat masuk…” teriak mama gue dengan cerewetnya. Huuuh,,, apa sih yang harus ditakuti dari hujan!? Lagipula hujan air ini, bukan hujan es kenapa harus seribut itu sih!?.

“Bentar lagi Ma…”
Aduh… sial bola yang dari tadi gue tendang-tendang meluncur dengan santainya ke jalan depan rumah gue. Untung aja ngga’ ada yang lewat. Lebih baik gue ambil dulu, daripada entar diambil orang. Hehehe…

“Tirta…!!! Mau kemana kamu Nak..?!” teriak mama lagi.

“Cuma mau ngambil bola bentar Ma… bolanya tadi ngegelinding ke jalan…”

“Ngga’ usah diambil sekarang… nanti aja ngambilnya kalau udah reda..”

“Tapi Ma… itu bola kesayangan Tirta…”

“Udah nanti aja, bahaya…”

“Cuma di depan itu aja kok Ma… lagian mumpung masih sepi..” kata gue seraya berjalan mengambil bola kesayangan gue. Untung aja tuh bola belom masuk got. “Sip… untung aja kamu belom masuk got. Hehehe…”

Tuh kan ngga’ ada apa-apa, lagian jalanan sepi gini bahaya dari mana? Ada-ada aja tuh mama, parnonya berlebihan banget.

“TIRTA AWWAAAASSS,,,,!!!!!”

APA?! Gue tersentak kaget mendengar jeritan mama, dan mencari sumber masalah yang membuat mama harus histeris seperti itu, gue pun melihat sekeliling dan terpaku. Dari sebelah kanan gue ada pick up yang melaju sedikit kencang dan parahnya lagi tuh pick up jalannya oleng, zig zag di jalan yang licin karena hujan yang semakin deras membasahi bukmi. Gue bengong ngga’ tau mau ngapain. Gue cuma bisa mejem sambil meluk bola kesayangan gue dan pasrah dengan apa yang bakal terjadi sama gue. Dalam hati gue berdoa sepenuh hati, agar aku masih diberi kesempatan satu kali lagi untuk hidup dan membahagiakan mama. Satu-satunya wanita di dunia ini yang paling aku sayangi.

Tapi, tiba-tiba aja tubuh kecil gue terlempar dengan keras dan membentur aspal jalan yang membuat gue mengerang kesakitan karenanya. Badan gue serasa remuk semua, dan gue yakin ada beberaapa bagian tubuh gue yang gue yakini besok bakalan biru-biru, dan luka gores di tangan dan pelipis gue berdenyut nyeri karena terkena air hujan. Belum selesai gue terkejut, tiba-tiba saja ada suara yang keras banget dekat dengan tempat gue jatuh. Dengan rasa penasaran gue melihat dengan takut-takut ke arah suara tadi berasal.

Gue membeku di tempat gue jatuh, pemandangan yang disuguhkan di depan mata gue, sukses bikin gue shock dan linglung sesaat. Di sana, tak jauh dari tempat gue tadi berdiri, tergeletak seorang wanita yang berlumuran darah, seseorang yang tadi berusaha menyelamatkan gue. Mama. Gue langsung berlari ke arah mama tergeletak ngga’ berdaya karena berusaha menyelamatkan gue. Darah mengalir dari pelipis dan hidungnya, membanjiri wajah dan daster kesayangannya. Beberapa bagian dasternya koyak dan menampakkan luka yang ngga' bakal sanggup gue bayangin. Wajah teduh itu kini terlihat pucat, kehilangan banyak darah.

“MAMA….!!! Mama…!!! Bangun Maa….” Teriak gue saat melihat kondisi mama yang jauh dari kata baik-baik aja. “Maa… maafin Tirta Ma… coba kalo’ tadi Tirta dengerin Mama, mama pasti ngga’ bakal kaya’ gini. Maa… bangun Ma…” isak gue di dekat mama yang udah mulai hilang kesadaran. Gue coba menggoncang tubuh lemah itu, berharap dengan begitu dia akan membuka matanya dan tersenyum padaku serta berkata, "mama ngga' papa kok sayang,," dengan suara khasnya. Tapi gue rasa itu ngga' mungkin, wajah mama terlihat semakin pucat, dan tubuhnya pun mulai terasa dingin.

Sementara itu para tetangga dan orang-orang yang ada di rumah gue udah mulai berdatangan, ingin tau apa yang menyebabkan suara menggelegar ditengah derasnya hujan di senja hari yang kelam ini. Sedangkan gue masih aja nangis di dekat mama sambil menggoncang badannya yang semakin lemah.

“Tirta…” ujar mama lemah.

“ya maa…” sahutku disela-sela isak tangisku.

“kamu ngga’ apa-apa kan sayang?”

“ngga’ papa ma… Cuma lecet-lecet aja. Tapi… tapi mama darahnya banyak banget…. Maafin Tirta ma….”

“Mama ngga’ papa kok… kamu ngga’ usah minta maaf… kamu ngga’ salah kok…” ujar mama sebelum perlahan mengatupkan kelopak matanya.

“Ma…. Mama…!!!” teriak ku lebih keras.

Tak lama kemudian ambulance membawa mama yang udah lemah ke rumah sakit untuk mendapat perawatan medis. Dari sejak mama dibawa ambulance sampai masuk ruang UGD. Papa sama sekali ngga’ bicara. Dia hanya melihat gue seakan-akan gue lah yang menyebabkan mama harus mengalami semua hal buruk ini.

Walaupun gue sadar, kalau kejadian ini melibatkan gue, tapi gue ngga’ suka tatapannya yang menghakimi gue. Asal loe tau aja… gue juga merasa bersalah, lebih dari itu, gue menyesal. Amat sangat menyesal. Lebih dari yang bisa loe bayangin. Mungkin ini akan menjadi penyesalan seumur hidup gue. Kalo’ aja gue bisa milih, lebih baik gue aja yang mengalami semua ini bukan dia. Tapi gue bisa apa?! Gue Cuma seorang anak kecil bodoh yang mencoba untuk menerima kenyataan, bahwa kejadian ini bukan sepenuhnya salah gue atau mama. Kejadian ini adalah takdir Tuhan buat gue dan mama. Gue yakin kalo' Tuhan pasti punya rencana tersendiri buat gue dan mama. Rencana yang indah, gue rasa.

Tak lama setelah mama dimasukan ke UGD, kabar buruk pun datang. Kata dokter yang menangani mama, mama telah berpulang karena kehabisan banyak darah. Papa hanya bisa menunduk tanpa daya, dan gue Cuma bisa bengong dan ngga’ percaya dengan apa yang dikatakan dokter tadi.
Tetapi saat gue memasuki ruangan UGD, di sana, di atas brankar, tertutup selimut putih, terbaring dengan damainya mama gue tercinta yang harus pergi karena menyelamatkan hidup gue. Menyadari kenyataan itu, gue pun tak kuasa menahan tangis. Hari itu gue menangis di samping jazad mama, gue ngeliat wajah damainya sebelum wajah itu harus tertutup tanah, setelah ini. Gue lontarkan segala penyesalan dan maaf gue buat mama. Tapi, mama tak kan pernah bisa mendengar semua penyesalan itu.

Setelah seluruh prosesi pemakaman yang cukup melelahkan berakhir, papa masih saja memberiku tatapan menghakimi itu. Setelah masa berkabung berlalu pun papa sama sekali ngga’ pernah bicara pada gue lagi, boro-boro bicara, natap gue aja ngga’. Seakan-akan gue itu ngga’ nyata. Dan hal ini diperburuk dengan sikap orang-orang disekeliling gue yang ikut-ikutan menyalahkan gue karena kejadian ini.

Gue adalah anak pembawa sial. Itu adalah anggapan yang udah terbetuk dalam diri mereka. Bahkan satu persatu temen gue pun pergi ninggalin gue. Selama 8 tahun, gue menjalani hidup yang menyengsarakan. Hidup yang mematikan bagi gue. Setiap kali gue ngeliat hujan, tiap kali bayang-bayang mama yang tergeletak berlumuran darah dan bayangan orang-orang yang menyalahkan gue muncul, menimbulkan seribu sesal dan penderitaan bagi gue. Itulah salah satu alasan kenapa gue benci banget sama hujan. Gara-gara hujan gue harus kehilangan mama, gara-gara hujan pula gue harus menjalani hidup yang mematikan ini. Gara-gara hujan, gue harus kehilangan hidup gue sendiri.

___TBC___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar