Pages

Ardhian's Zone

WELCOME to My Zone,,,
Here, You can read my Creation,,
like story or something like that,, :)
Enjoy Your Visit :)

Sabtu, 28 Januari 2012

Memories of the Rain (3)

Lagi-lagi gue terbangun gara-gara suara yang ditimbulkan antara tetesan hujan dan atap bangunan ini. Siaal… apa ngga’ bosen sih, udah tadi dari pagi hujan, masa’ iya malam ini hujan lagi?! Ngga’ tau apa kalo’ gue tuh udah capek?! Capek buat ngadepin mimpi buruk ini lagi?! Setelah seharian ini gue terpuruk, gue pengen istirahat dari semua ini.

Tapi, ternyata bahkan alam pun tak memihak gue untuk bahagia. Hujan malam ini tak sederas sore tadi, namun efeknya tak kalah dahsyat dengan yang gue alamin tadi sore. Mau gerimis atau badai efek yang gue terima selalu sama. Menyesakkan dan mematikan.

Dan, film itu terputar kembali. Untuk kali ini, mengapa Kau selipkan kisah indah yang tak kan pernah kembali itu? Hhuuufft… film kali ini sukses bikin hati gue teriris dengan perlahan. Luka itu… luka yang tak pernah mengering dan bertambah lebar dan dalam seiring dengan semakin seringnya film ini berputar…

***
Jauuuhh sebelum gue terdampar di tempat gue sekarang, gue pernah ngerasain yang namanya bahagia. Yaa… ternyata kata dan rasa itu pernah menyentuh hidup gue. Walaupun itu hanya sebentar, nyaris seperti hembusan angin. Tapi gue bersyukur pernah ngalamin yang namanya bahagia.

Kebahagian gue ini ngga’ lepas dari usaha gadis yang selalu gigih membantu gue buat ngilangin trauma gue terhadap hujan. Gadis itu adalah Embun. Gadis yang bahkan namanya pun mencerminkan bagian dari diri gue. Untuk yang entah keberapa kalinya dia dengan sabarnya menenangkan gue yang mulai gelisah saat melihat air langit itu mulai turun membasahi bumi.

Waktu itu kami sedang menikmati indahnya pantai, ketika tiba-tiba saja musuh gue itu muncul dan membuyarkan semua keindahan yang tercipta kala itu. Berlari menembus hujan selalu membuat emosi gue turun naik. Setelah tiba di tempat yang teduh dan membersihkan diri dari percikan pasir, gue pun mulai mengumpat.

“cih.. kenapa sih harus ada hujan di dunia ini?! Bikin hidup orang sengsara aja…”

Dia hanya tersenyum menanggapi omelan gue. ”hujan itu bentuk ungkapan rindu langit pada bumi.” Katanya seranya menerawang menembus derasanya tetesan hujan yang sekarang mulai diwarnai dengan kilat yang saling menyambar.

“heh.. rindu langit. Ngga’ usah ngelantur deh… diatuh Cuma bisa buat orang sengsara aja terutama buat gue,,”

“kenapa sih… kamu segitu bencinya sama hujan?”

“karena gara-gara dia gue harus kehilangan orang yang gue sayang.”

“huufft… kamu masih menyalahkan hujan atas apa yang menimpa mama kamu?”

“gue ngga’ bakal bisa ngelupain apa yang gue alamin waktu itu…”

“tapi itu kan udah lama banget Ta, emang kamu ngga’ capek apa hidup kaya’ gini terus. Terus membenci hal yang sebenarnya ngga’ perlu kamu benci. Berdamailah dengan hujan Ta, berdamailah dengan Tuhan.”

“udah gue coba Mbun, tapi tetep aja bayangan itu ngga’ pernah ilang… apalagi bayangan orang-orang yang terus nyalahin gue atas peristiwa itu. Semakin hari semakin nyata aja. Gue juga capek dengan semu ini, tapi gue harus gimana!?”

Embun mengamati Tirta yang sedang menerawang melihat butiran-butiran air hujan yang terus membasahi bumi. Kenapa sih Ta, kamu ngga’ pernah bisa ngerelain mama kamu pergi. Kalo’ kamu kaya’ gini terus, kamu ngga’ bakal bisa bahagia. Ujar Embun dalam hati. Sedih.

“kata orang bila kita sabar menunggu hujan reda, maka disaat hujan itu telah pergi akan ada banyak keindahan yang tercipta. Pelangi lah… pohon-pohon yang terlihat lebih hijau.. bunga-bunga yang terlihat segar.. tapi bagi gue, semua itu semu. Karena apa yang gue dapet setelah hujan adalah kepedihan.”

Setelah itu, gue sama Embun pun memutuskan untuk pulang. Karena hari sudah mulai beranjak malam. Karena takut membuat Embun terlambat sampai di rumah, gue pun melajukan motor dengan sedikit kencang.

“pelan-pelan aja Ta… abis ujan nih, jalanan licin.”

“iya gue tau, gue bakal hati-hati kok. Gue Cuma ngga’ mau loe telat sampai rumah.”

Tapi gue tetep aja melajukan motor gue dengan kecepatan yang di atas rata-rata. Tinggal satu belokan lagi, maka sampailah kami di rumah Embun. Tapi… tiba-tiba aja dari tikungan tersebut muncul mobil box yang sedikit oleng. Gue yang kaget dengan kemunculan mobil itu pun berusaha menghindar, tapi naas, gara-gara jalanan licin karena habis turun hujan. Motor yang gue kendarai sedikit menyerempet bagian depan mobil, dan karena kecepatan motor gue tadi, sedikit senggolan tersebut berakibat fatal. Motor gue terpelanting lebih dari 2 meter sebelum akhirnya berhenti karena menabrak pohon yang ada di pinggir jalan.

Dengan keadaan setengah sadar, gue berusaha mencari Embun. Dengan sisa harapan yang gue punya, gue berharap dia ngga’ apa-apa. Dengan sisa-sisa kekuatan yang gue punya, akhirnya gue menemukan dia. Disana, di seberang jalan, dan terkapar tak berdaya, dengan darah segar yang mengalir dari pelipisnya. Gue cek nadinya, masih berdetak, walau lemah. Dan deru napasnya semakin lama semakin lemah.

“Jangan… jangan tinggalin gue… loe harus sadar Mbun… please… jangan buat gue lebih menderita dari ini… sadar Mbun…” ratap gue, berusaha menyadarkan dia dengan segala cara yang gue inget.

Akibat benturan yang tadi gue terima dan usaha gue buat mencari dan menyadarkan Embun, sisa tenaga gue pun habis terkuras, dan gue pun ngga’ tau apa yang terjadi selanjutnya. Yang gue tau, gue udah berada di ruangan ini dengan perban yang membalut tubuh lemah gue disana sini.

Hal yang pertama kali gue tanyakan adalah Embun, gue ngga’ mau merasakan perihnya kehilangan lagi. Dan berita yang gue dapet malah lebih dari itu. Embun, satu-satunya gadis yang gue sayang, harus menderita seumur hidupnya gara-gara gue. Dia terkena gegar otak dan patah kaki.
Gue merasa bersalah banget, atas apa yang terjadi padanya. Setelah itu, gue ngga’ pernah melihat dia lagi. Gue memutuskan untuk pergi dari kehidupannya, menjauh, pergi sejauh yang gue bisa. Pergi dari kehidupannya. Gue ngga’ sanggup menerima kenyataan yang telah gue perbuat bagi orang yang gue sayang.

Lebih baik gue pergi, jika gue berada di sini lebih lama, maka ngga’ ada yang menjamin bahwa hidupnya juga akan baik-baik saja. Gue adalah anak pembawa sial bagi orang-orang yang gue sayang. Sudah cukup banyak penderitaan yang harus ditanggung olehnya karena gue, dan gue ngga’ mau menambah lebih banyak penderitaan untuknya. Gue akan terus berdoa buat dia, biarlah gue yang menanggung semua derita ini asal dia bisa hidup bahagia. Dan gue juga ngga' bakal gampang buat maafin diri gue sendiri. Kali ini, gue mati untuk kedua kalinya.

***
Setiap kali teringat kenangan itu, gue selalu saja berharap bisa bertemu dengannya. Walaupun hanya sekali, hanya untuk meminta maaf atas apa yang udah gue perbuat ke dia waktu itu, dan untuk memastikan apakah dia baik-baik aja. Apakah dia bahagia? Apakah dia masih menganggap hujan sebagai bentuk rindu langit pada bumi? Dimana dia sekarang?

Gue sangat merindukannya. Amat sangat merindukannya. Merindukan senyumnya yang bagai pelangi di waktu hujan. Merindukan tatapan lembutnya yang mampu membuat gue melupakan sejenak kebencian gue pada hidup gue. Merindukan segala apa yang ada padanya. Tapi itu mustahil, gue ngga' akan ngingkarin janji gue sendiri, janji untuk tidak membuatnya lebih menderita dari sekarang.

“Embun…maafin gue,,,” desah gue. Sebelum akhirnya gue terlelap.

___TBC___

Memories of the Rain (2)

Langit mulai menampakkan tanda-tanda akan turun hujan. Mendung bergelayut dengan angkuhnya di langit kota kecil tempat gue tinggal bersama kedua orang tua gue dengan damai. Seakan tidak memperdulikan hujan yang sebentar lagi akan membasahi bumi, gue yang waktu itu baru berusia 8 tahun masih asyik bermain bola di halaman depan rumah gue yang sempit.

Di jalan depan rumah gue sudah mulai ramai dilalui kendaraan yang berlomba memacu kecepatan untuk saling berlomba sampai di rumah. Suara klakson kendaraan yang saling berebut tempat pun semakin meriuhkan suasana. Angin kencang yang mengarak awan pekat pun tak mau ketinggalan. Suasana yang temaram akibat tak adanya sinar mentari semakin membuat suasana menjelang senja lebih mencekam ketimbang biasanya.

“Tirta…!!” teriak seseorang memanggil gue. Namun, gue ngga’ peduli dan terus saja memainkan bola sepak. Kesayangan gue. Gue emang hobi banget sama yang namanya sepak bola. Tiap hari pasti gue habiskan buat main bola. Dari pada main PS yang cuma mencet-mencet ngga’ penting gitu, lebih asyik main bola.

“Tirta..!!!” teriaknya lagi. Huh… siapa sih yang teriak-teriak ngga’ penting gitu, ngga’ bisa liat apa kalo’ gue lagi asyik. Gue ngomel-ngomel dalam hati.

“Tirta!!!!”

Huuuh….. “Ya Maa….”

“Udah dulu main bolanya, sebentar lagi hujan…”

“Nanti aja Ma… lagi tanggung nih…”

“Kamu ini, kalo’ udah main bola sampe’ lupa waktu. Lihat tuh udah mulai gerimis. Cepetan masuk, nanti kamu sakit…”

“Iyaaa Maa… nanti..”

Dan seakan ngga’ memperdulikan teriakan mama, gue tetep aja asyik main, sedangkan hujan sudah mulai turun. Gue ngga’ peduli. Gue tetep aja main dengan asyiknya. Bagi gue main bola ditengah hujan begini menimbulkan sensasi tersendiri. Suara kecipak air waktu gue nendang bola membuat gue menjadi lebih bersemangat.

“Tirta!!! Jangan hujan-hujanan, cepat masuk…” teriak mama gue dengan cerewetnya. Huuuh,,, apa sih yang harus ditakuti dari hujan!? Lagipula hujan air ini, bukan hujan es kenapa harus seribut itu sih!?.

“Bentar lagi Ma…”
Aduh… sial bola yang dari tadi gue tendang-tendang meluncur dengan santainya ke jalan depan rumah gue. Untung aja ngga’ ada yang lewat. Lebih baik gue ambil dulu, daripada entar diambil orang. Hehehe…

“Tirta…!!! Mau kemana kamu Nak..?!” teriak mama lagi.

“Cuma mau ngambil bola bentar Ma… bolanya tadi ngegelinding ke jalan…”

“Ngga’ usah diambil sekarang… nanti aja ngambilnya kalau udah reda..”

“Tapi Ma… itu bola kesayangan Tirta…”

“Udah nanti aja, bahaya…”

“Cuma di depan itu aja kok Ma… lagian mumpung masih sepi..” kata gue seraya berjalan mengambil bola kesayangan gue. Untung aja tuh bola belom masuk got. “Sip… untung aja kamu belom masuk got. Hehehe…”

Tuh kan ngga’ ada apa-apa, lagian jalanan sepi gini bahaya dari mana? Ada-ada aja tuh mama, parnonya berlebihan banget.

“TIRTA AWWAAAASSS,,,,!!!!!”

APA?! Gue tersentak kaget mendengar jeritan mama, dan mencari sumber masalah yang membuat mama harus histeris seperti itu, gue pun melihat sekeliling dan terpaku. Dari sebelah kanan gue ada pick up yang melaju sedikit kencang dan parahnya lagi tuh pick up jalannya oleng, zig zag di jalan yang licin karena hujan yang semakin deras membasahi bukmi. Gue bengong ngga’ tau mau ngapain. Gue cuma bisa mejem sambil meluk bola kesayangan gue dan pasrah dengan apa yang bakal terjadi sama gue. Dalam hati gue berdoa sepenuh hati, agar aku masih diberi kesempatan satu kali lagi untuk hidup dan membahagiakan mama. Satu-satunya wanita di dunia ini yang paling aku sayangi.

Tapi, tiba-tiba aja tubuh kecil gue terlempar dengan keras dan membentur aspal jalan yang membuat gue mengerang kesakitan karenanya. Badan gue serasa remuk semua, dan gue yakin ada beberaapa bagian tubuh gue yang gue yakini besok bakalan biru-biru, dan luka gores di tangan dan pelipis gue berdenyut nyeri karena terkena air hujan. Belum selesai gue terkejut, tiba-tiba saja ada suara yang keras banget dekat dengan tempat gue jatuh. Dengan rasa penasaran gue melihat dengan takut-takut ke arah suara tadi berasal.

Gue membeku di tempat gue jatuh, pemandangan yang disuguhkan di depan mata gue, sukses bikin gue shock dan linglung sesaat. Di sana, tak jauh dari tempat gue tadi berdiri, tergeletak seorang wanita yang berlumuran darah, seseorang yang tadi berusaha menyelamatkan gue. Mama. Gue langsung berlari ke arah mama tergeletak ngga’ berdaya karena berusaha menyelamatkan gue. Darah mengalir dari pelipis dan hidungnya, membanjiri wajah dan daster kesayangannya. Beberapa bagian dasternya koyak dan menampakkan luka yang ngga' bakal sanggup gue bayangin. Wajah teduh itu kini terlihat pucat, kehilangan banyak darah.

“MAMA….!!! Mama…!!! Bangun Maa….” Teriak gue saat melihat kondisi mama yang jauh dari kata baik-baik aja. “Maa… maafin Tirta Ma… coba kalo’ tadi Tirta dengerin Mama, mama pasti ngga’ bakal kaya’ gini. Maa… bangun Ma…” isak gue di dekat mama yang udah mulai hilang kesadaran. Gue coba menggoncang tubuh lemah itu, berharap dengan begitu dia akan membuka matanya dan tersenyum padaku serta berkata, "mama ngga' papa kok sayang,," dengan suara khasnya. Tapi gue rasa itu ngga' mungkin, wajah mama terlihat semakin pucat, dan tubuhnya pun mulai terasa dingin.

Sementara itu para tetangga dan orang-orang yang ada di rumah gue udah mulai berdatangan, ingin tau apa yang menyebabkan suara menggelegar ditengah derasnya hujan di senja hari yang kelam ini. Sedangkan gue masih aja nangis di dekat mama sambil menggoncang badannya yang semakin lemah.

“Tirta…” ujar mama lemah.

“ya maa…” sahutku disela-sela isak tangisku.

“kamu ngga’ apa-apa kan sayang?”

“ngga’ papa ma… Cuma lecet-lecet aja. Tapi… tapi mama darahnya banyak banget…. Maafin Tirta ma….”

“Mama ngga’ papa kok… kamu ngga’ usah minta maaf… kamu ngga’ salah kok…” ujar mama sebelum perlahan mengatupkan kelopak matanya.

“Ma…. Mama…!!!” teriak ku lebih keras.

Tak lama kemudian ambulance membawa mama yang udah lemah ke rumah sakit untuk mendapat perawatan medis. Dari sejak mama dibawa ambulance sampai masuk ruang UGD. Papa sama sekali ngga’ bicara. Dia hanya melihat gue seakan-akan gue lah yang menyebabkan mama harus mengalami semua hal buruk ini.

Walaupun gue sadar, kalau kejadian ini melibatkan gue, tapi gue ngga’ suka tatapannya yang menghakimi gue. Asal loe tau aja… gue juga merasa bersalah, lebih dari itu, gue menyesal. Amat sangat menyesal. Lebih dari yang bisa loe bayangin. Mungkin ini akan menjadi penyesalan seumur hidup gue. Kalo’ aja gue bisa milih, lebih baik gue aja yang mengalami semua ini bukan dia. Tapi gue bisa apa?! Gue Cuma seorang anak kecil bodoh yang mencoba untuk menerima kenyataan, bahwa kejadian ini bukan sepenuhnya salah gue atau mama. Kejadian ini adalah takdir Tuhan buat gue dan mama. Gue yakin kalo' Tuhan pasti punya rencana tersendiri buat gue dan mama. Rencana yang indah, gue rasa.

Tak lama setelah mama dimasukan ke UGD, kabar buruk pun datang. Kata dokter yang menangani mama, mama telah berpulang karena kehabisan banyak darah. Papa hanya bisa menunduk tanpa daya, dan gue Cuma bisa bengong dan ngga’ percaya dengan apa yang dikatakan dokter tadi.
Tetapi saat gue memasuki ruangan UGD, di sana, di atas brankar, tertutup selimut putih, terbaring dengan damainya mama gue tercinta yang harus pergi karena menyelamatkan hidup gue. Menyadari kenyataan itu, gue pun tak kuasa menahan tangis. Hari itu gue menangis di samping jazad mama, gue ngeliat wajah damainya sebelum wajah itu harus tertutup tanah, setelah ini. Gue lontarkan segala penyesalan dan maaf gue buat mama. Tapi, mama tak kan pernah bisa mendengar semua penyesalan itu.

Setelah seluruh prosesi pemakaman yang cukup melelahkan berakhir, papa masih saja memberiku tatapan menghakimi itu. Setelah masa berkabung berlalu pun papa sama sekali ngga’ pernah bicara pada gue lagi, boro-boro bicara, natap gue aja ngga’. Seakan-akan gue itu ngga’ nyata. Dan hal ini diperburuk dengan sikap orang-orang disekeliling gue yang ikut-ikutan menyalahkan gue karena kejadian ini.

Gue adalah anak pembawa sial. Itu adalah anggapan yang udah terbetuk dalam diri mereka. Bahkan satu persatu temen gue pun pergi ninggalin gue. Selama 8 tahun, gue menjalani hidup yang menyengsarakan. Hidup yang mematikan bagi gue. Setiap kali gue ngeliat hujan, tiap kali bayang-bayang mama yang tergeletak berlumuran darah dan bayangan orang-orang yang menyalahkan gue muncul, menimbulkan seribu sesal dan penderitaan bagi gue. Itulah salah satu alasan kenapa gue benci banget sama hujan. Gara-gara hujan gue harus kehilangan mama, gara-gara hujan pula gue harus menjalani hidup yang mematikan ini. Gara-gara hujan, gue harus kehilangan hidup gue sendiri.

___TBC___

Memories of the Rain (1)

Hujan.

Gue benci banget sama kejadian alam yang satu ini. Dia selalu saja sukses bikin gue teringat lagi sama kenangan yang udah gue pendam. Kenangan itu muncul tiba-tiba dan terus beputar cepat layaknya roda komedi putar. Bekelebat tanpa henti mencoba meruntuhkan benteng yang gue buat. Cih, kenapa di dunia ini harus ada hujan?!

Hujan adalah bentuk ungkapan rindu langit pada bumi.” Kata seseorang yang penting dalam hidup gue, seseorang yang dulu penting.
“Loe becanda?! Rindu langit pada bumi?! Lelucon apa lagi ini?!” sahut ku waktu mendengar jawaban yang ia lontarkan.

Dia hanya tersenyum mendengar tanggapan dari gue. Sebentuk senyum yang ngga’ bakal gue lupain seumur hidup. Sebentuk senyum yang ngga’ bakal pernah gue liat lagi. Dan yang membuat gue kehilangan senyum itu adalah hujan. Dan itu menyebabkan semakin panjangnya daftar alasan gue membenci hujan.

Hujan, selalu sukses merebut kebahagian gue. Gue ngga' akan pernah ngerasain bahagia selama hujan terus ada di dunia ini. Di kala gue udah mulai berdamai dengannya, lagi-lagi dia membuat gue harus membencinya, terus membencinya. Waktu hujan turun adalah waktu di mana gue selalu merasa, gue harus pergi dari dunia ini. Pergi dan tak pernah mau kembali.

Tapi, jika gue pergi, berarti gue udah kalah sama hujan. Dan gue ngga' akan pernah mengaku kalah dengan sesuatu yang udah ngancurin hidup gue. Lagipula, walaupun gue pergi sejauh yang mungkin bisa gue capai, dia tetap ngga’ bakal pergi dari hidup gue. Dan itu akan selalu membuat gue lebih benci terhadap diri gue sendiri.

Gara-gara hujan pula gue bisa terdampar di tempat ini. Tempat di mana seharusnya ngga' gue tinggalin. Tempat ini adalah penjara tanpa kebebasan yang membelenggu hidup gue. Gue ngga’ bisa dan ngga’ bakal bisa lepas dari tempat ini. Ini seperti kutukan yang Tuhan kasih ke gue, karena gue udah ngebenci salah satu karunia-Nya. Apalagi gue menyandang nama yang merupakan bagian dari karunia-Nya tersebut.

“Aaaagghhh……… gue benci banget sama loe…!!!” teriak gue melepaskan semua beban yang ada di hati. “Gara-gara Loe gue harus kehilangan semua yang dulu pernah gue miliki. Gue membenci loe kemarin, hari ini, dan untuk masa depan. Selamanya!!”

Lagi-lagi gue kebangun gara-gara mimpi buruk, yang setiap hari semakin bertambah buruk. Sangat mengherankan jika gue kebangun gara-gara mimpi indah. Udah bertahun-tahun gue ngga’ pernah ngerasain yang namanya mimpi indah. Entahlah apa yang membuatnya pergi ninggalin gue.

Dan mimpi buruk ini menjadi lebih buruk lagi saat gue melihat ke luar jendela dan menemukan musuh bebuyutan gue sudah beraksi. Hujan. Huh, kenapa sih akhir-akhir ini sering banget hujan? Kata orang sih gara-gara global warming makanya cuaca juga jadi ngga’ jelas.

Tapi, kalo’ gue boleh minta sih, gue bakal lebih milih panas terus ketimbang hujan terus. Aaahh…… gara-gara ngeliyat hujan, film tentang lembaran mimpi buruk gue berputar tanpa gue bisa milih. Kenapa harus film yang ini yang keputer? Film ini adalah film yang paling gue benci.

___TBC___

April Mop

April Mop.
seperti yang udah kita tau, setiap tanggal 1 April tiap tahunnya ada ajaa orang yang melakukan kejailan atau lebih tepatnya membohongi orang lain, dan hal itu cuma buat iseng" doank alias buat hepi"an aja,,,dan yang dikerjain ngga' boleeh maraaah,,, *karena itu April Mop*

sejarah April Mop itu sendiri q juga udah lupa" inget,,, tapi yang jelas, di tahun" sebelum tahun 2011 kemarin agenda April Mop cuma sekedar rencana aja. rencana seru buat ngerjain orang. kebohongan juga kebohongan yang kecil" aja,,, ngga' kaya' Apeil Mop 2011 kemarin.

 hari itu, di awali dengan santai kaya' di pantai,,,
beranjak siang,,,
setelah perkuliahan selesai *lupa kuliah apa*, yang tertinggal di kelas cuma ada lebih kurang 3/4 orang. yaitu, Q, temen q yg jadi korban *dicerita bohongan kami* dan seorang lagi yg jadi tersangka *penyebar kebohongan*.

cerita di awali dari obrolan ringan ala mahasiswaa,,
"eehh,,, hari ini April Mop lhoo,,,?? kamu orang tau g??" kata temen q *lupa yg mana*
"tauu laahh,,,, terus ngapa?" sahut q, sambil ngerjain entah apa *lupa juga, waktu itu ada tugas yaa,,??*
"gimana kalo' kita ngerjain anak" yg lain?" usul temen q yg satu lagi *agk'a sih yg suka usil itu yg nomong*
"ngerjain apa??" tanya kita orang.
"bilang aja gini, si M *inisial aja* keserempet depan kampus gituu,,," usulnya.
"yakiin loo,,,??? keserempet beneran tau rasa loo,," kata temn q yg satu lagi.
"aallaaahhh,,, keserempet kan bisa aja keserempet rezeki, depan kampus ya ga'?" kata q, biar seolah" kita ngga' murni bohong.
"ya udah gitu aja, tapi kata" nya gimana??" kata temen q yg jdi tersangka.kami rencana nya mau nyebarin berita kalo' temen kami yg berinisial M itu keserempet di depan kampus lewat SMS.

"gini aja,,, TEMEN" GIMANA NIIH,,, si M KESEREMPET DEPAN KAMPUS..." usulnya *si Korban dalam cerita*
"waaahh,,, kurang heboh tuh beritanya,,," timpal q.
"ya udah gimana doonnkk,,??" kata si tersangka.
"haaa,,!! gini aja tambahin ADA YANG PUNYA NOMER KAKAK NYA NGGA'?? KITA MAU NGUBUNGIN KELUARGANYA TAPI NGGA' TAU NOMERNYA,,, gitu aja,,," tambah si korban.
"iyaaa,,, iyaaa,,, gitu aja,,," tambah q.

"kamu orang ini,,, dosa tau,," kata temen q yang *sok* alim ngasih nasihat ke kami.
"haalllaaahh,,,, cuma sekali ini doank P,," kata si korban.
"iyaa,,, pumpung lgi April Mop," kata q lagi.
"q ngga' ikut"an yaa,,,," katanya *sok" cuci tangan*

"ya udaahh buruan kirim,,,""eeh,,, kirim ke anak" kostan Hawa aja,,, mereka kan yg suka gupek," usul si tersangka.
"tapi siapa yang mau ngirim?" kata q.

dilema menghadang, pasalnya kalo' yang ngirim tuh sms si M, pasti bakal banyak yg g percya, kalo' yg ngirim q, juga pasti pada ragu", soalnya q juga udah lumayan sering ngerjain anak" lewat sms. jadi diputuskanlah si N yg ngirim tuh sms."iyaa N,,, kamu aja, kalo' kamu pasti pada percaya,," kata si korban.
alhasil terkirimlah sms *setan* itu dengan format,,"TEMEN" GAAWWAAATT,,, si M KESEREMPET DEPAN KAMPUS. ADA YANG TAU NOMER KAKAKNYA NGGA'?? KITA MAU NGUBUNGIN KELUARGANYA NII,,," *lebih kurang gitu lah isinya*

"eeehh,,, kirim juga ke si A, dia kan cepet gupek juga,,," usul q.
"waaahh,,, iya tuuh,,, jangan lupa ank kostan q jugaa,," tambah si korban.

daaannn,,,
setelah sms tersebut tersebar, kita keluar kelas buat ngecek hasilnya. disaat mau keluar lorong, kami ragu",,,"eeehh,,,, M kamu jngn keluar dulu,,, tar malah ketauan," cegah tersangka.
"iyaaa,,, M, kamu keluarnya tar aja,,," kata q, sambil ngunci pintu kelas.
"eeehh,,, P, kamu juga jngan keluar duluu,,," cegah kita ke si alim.
"aku tuh mau pulaangg,,," katanya sambil tetep lanjut,,,

disaat lagi pada tegang nungguin reaksi korban sms, q iseng lah ngecek hp q,,, dan ternyata,,,
"eeehh,,,, barusan aja si A nelpon, tapi berhubung g kerasa g ta' angkat" kata q, yang suksees bikin nyengir ke2 temn q.
"ayoo kita liyaat ke depan"
akhirnya kami bertiga jalan keluar menuju depan kampus, dan disaat kami tiba di dpan kantor, hp q bergetar lagi, tanda ada yang nelpon, dan saat melihat ID Callnya, q kaget.."eeehh,,,, si A nelpon lagi,," kata q *sedikit* panik.
"angkat aja,,,, angkat ajaa,,,," kata kedua temen q lagi,,,
"tapi q harus ngomong apaa,,???" kata q.
"ya udah biar si P aja yg ngomong,," usul tersangka.
"yaa,, P, dia kan percya sama kamu," kata korban menegaskan.

alhasil, si P lah yg ngangkat tuh telpon,,
"haloo,,, *suara sedikt panik* iyyaaa A,,, depan kampus,,, iyaaa,,, aduuuhh... q ngga' tau niiih,,,, ne kita orng lagi ngurusin dia,,,, iya masih dikmpus,,, mana darahnya banyak lagi,,,, iya A cepetan geh kesini"
tuuuttt,,, tuuuut,,,,panggilan terputus dan kami panik lagi mau ngumpet dimana,,,
saat lagi gupek mau ngumpet, dari jauh keliatanlah motor si A memasuki hlman kmpus dengan kecepatan yg bisa dibilang ngebut.

"wuuuaaadduuuhh,,,, gawaaaatt,,,, gaawwaaattt,,,, ngumpet dimana niihh,,,???" seru kita panik dan nyebar nyari tempat ngumpet yg baik. q ama si tersangka ngumpet dalam kantor, dan si korban ngumpet di sisi lain gedung.
setelah main petak umpet yg g berujung, akhirnya si korban nongolin diri, si A yg tau lagi dikerjain marah" ngga' jelas. kita maah cuma cengar cengir sambil ketawa ngakak,,,akhirnya setelah kerusuhan dalam kampus mereda, kami pulang dan di gerbang kami liat temen kostan'a M si D, lari" kocar kacir nemuin kami dan mara", dia malah udah sempet ngira si M udah dibawa  ke RS berhubung tadi dia smpet ngeliyat mobil Ambulance lewat depan kampus. setelah kita ceritain yang sebenernya dia langsung lemes, dan ngumpat-ngmpat ngga' jelas.

yang heboh adalah reaksi dari kostan Hawa, ada yg terburu" dateng sambil bawa motor, ada yang jalan kaki *duuuuhhh,,, jadi merasa bersalah neee,,,*dari cerita mereka, ada yang udah tidur, langsung kebangun gara" dapet sms *setan* itu,,, ada yang lagi tidur"an jadi langsung bangun"an, ada yang lagi masak langsung ninggalin masakannya terus lari ke kampus,,,yaaahhh,,, setelah hari berlalu kejadian itu jadi sedikit cerita penghibur diantara kami. dan satu pesan moral dari kejadian ini adalah:
1. Teman adalah sesuatu yang sangat berharga dan TAK KAN tergantikan dengan yang lain.
2. saat kau dalam keadaan terdesak, TEMAN lah yang kan jadi SUPERHERO yang pertama kali datang membantumu.
3. ikatan pertemanan tak kan dapat dibeli, bahkan dengan sebongkah berlian pun.

inilah akhir dari kisah April Mop yang mengharukan. adakah kejahilan pada April Mop pada tahun ini?? kita tunggu saja,,,the last word is HARGAILAH TEMAN MU SEBELUM KAU KEHILANGAN MEREKA,,,!!!!

Arigatou Gozaimashu minna yang udah sempet meluangkan waktu buat baca Corat Coret edisi April Mop.... :)
sampai jumpa di Corat Coret edisi berikutnya,,,

SAYONARA,,,!!!! :)

Poor Prince & Perfect Princess (4-5/End)

Poor Prince & Perfect Princess (4)

Amber's POV

Sore ini aku terbangun dengan senyum membayang di bibirku. Aku sudah tak sabar ingin melihat wajah menyebalkan orang yang sudah menghinaku tadi pagi. Membayangkan bagaimana terkejutnya ia nanti, membuatku tak kuasa menahan senyum tertahanku. Dengan langkah pasti aku memasuki kamar mandi yang terletak di pojok kamar tidur mewahku. Aku ingin memberinya sedikit kejutan dengan penampilan ku nanti malam. Membayangkan aku mengenakan gaun berwarna biru itu, membuat senyumku tak lepas-lepas menghiasi bibir mungilku.

Setengah jam kuhabiskan dengan ritual mandi yang cukup mengembalikan kesegaranku. Aroma mawar tercium dari tubuhku setelah aku berhasil mengeringkan tubuhku. Melihat gaun yang kupesan minggu lalu sudah tergantung rapi di pintu lemari, membuatku bergegas mengambil dan mematutkannya di depan cermin. Aahh,,, sempurna. Aku tak pernah merasa secantik dan seanggun ini seumur hidupku.

Aku mengenakan gaun itu dengan hati-hati, seolah-olah sedikit gerakan yang tak beraturan dapat merusak keindahan gaun cantik ini. Setelah gaun itu melekat dengan indahnya di tubuhku, langkah selanjutnya untuk membuatku tampil sempurna nanti malam adalah mengatur rambut panjang sebahuku dan merias sedikit wajahku dengan sedikit sentuhan alat-alat make up yang berjejer rapi di atas meja riasku. Untuk membuatnya tampil sempurna aku memerlukan bantuan orang lain untuk meriasku, dan di sinilah aku.

Berada disalah satu ruangan yang biasa ku sebut salon pribadiku. Dua orang yang bertugas membuatku tampil cantik nanti malam sudah mulai merias dan menata rambutku. Aku benar-benar tak sabar menunggu acara nanti malam.

"dia sudah tiba nona," ujar Anggi, membuyarkan semua lamunan indahku. Aku hanya mengangguk sebagai jawabannya.

Aku dapat membayangkan bagaimana terkejutnya dia sekarang. Menculiknya dari negeri antah berantah memang bukan ideku, tapi kurasa ide itu tak buruk juga. Sedikit goncangan untuknya akan semakin membuat rencanaku terasa lebih menarik.

"lakukan seperti yang telah kuperintahkan tadi," kataku tandas, dan senyum kembali menghampiri bibirku.

"baik, nona," ujar Anggi sebelum meninggalkanku dengan dua penata riasku yang sekarang mulai melakukan sesuatu dengan rambutku.

Hari sudah mulai temaram, dan aku puas melihat hasil kerja keras dua penata riasku. Sekarang aku tampil sempurna. Tatanan baru pada rambutku, membuatku tampil beda dan menakjubkan. Setelah hampir seepuluh menit aku mengagumi penampilan baruku, akupun beranjak menuju ruang pesta ulang tahunku yang sangat sederhana. Kali ini aku hanya mengundang keluarga karyawanku saja. Hitung-hitung sekalian memberi mereka hiburan.

Sambil menunggu kedatangan tamu spesialku malam ini, aku mencoba bercengkerama dengan beberapa orang yang aku jumpai. Melihat mereka begitu menikmati pesta ini, membuatku sedikit terharu. Setidaknya, malam ini aku telah membuat orang lain ikut merasakan apa yang-harusnya-aku rasakan. Atmosfer bahagia yang terpancar dari seluruh tamu undangan, membuatku merasa telah menjadi sesorang yang sangat istimewa malam ini. Senyumpun tak lepas dari bibir mungilku.

"dia datang," bisik Angel, seraya mengisyaratkanku untuk melihat ke arah yang dia maksud dengan pandangan matanya.

Aku sedikit memutar tubuhku untuk melihat apa yang Angel maksudkan tadi. Daaan,,, apa yang kulihat itu benar-benar membuatku terpukau. Aku tak tau lagi harus berkata atau bertindak apa lagi. Aku terpesona melihat penampilannya malam ini. Dia benar-benar tampan dalam balutan tuxedo hitam dengan kemeja biru yang tersembunyi di dalamnya. Aku tak menyangka penampilannya akan jauh berbeda dengan yang kutemui tadi pagi. Hal ini benar-benar mengejutkanku, dan kurasa hatiku-sedikit-berdesir melihat penampilan barunya, malam ini.

"Dewa,,??" desisku lirih.

@@@

Dewa's POV

Aku melangkah menuju lemari yang dikatakan oleh wanita yang membawaku ke ruangan mewah ini, dan di sana yang ku temui hanyalah sebuah celana panjang hitam, kemeja berwarna biru yang tergatung rapi di salah satu sudut lemari dan sebuah tuxedo berwarna hitam yang terlihat sangat mahal, dan setelah kuamati lebih teliti, ternyata memang mahal. Pada kerah tuxedo itu tertulis sebuah kata yang dapat menunjukkan seberapa mahal benda ini. Armany.

Karena tidak melihat adanya setelan baju yang lain, akhirnya terpaksa aku harus memakai setalan baju mahal yang seumur-umur belum pernah ku kenakan. Setelah semua benda mahal itu melekat di tubuhku, aku menghampiri cermin besar yang berada di dalam ruangan itu. Melihat bayanganku yang mengenakan semua benda mahal ini, sejenak membuatku terpaku dan tak mengenali siapa orang yang berada dalam cermin itu.

Aku tak berani mengakui, kalau bayangan di cermin itu adalah seseorang yang-dulunya-berasal dari jalanan. Aku benar-benar berubah dengan seluruh perlengkapan mewah ini, dan yaah,,, semakin tampan saja aku ini. Hahaha,,,
Kurasa, jika aku lebih memperhatikan penampilanku, aku yakin bahwa aku akan bisa memikat seribu wanita yang kujumpai. Well, mungkin aku sedikit berlebihan di sini, tapi,, heey,,, dengan wajah tampan, rambut sedikit berantakan, badan yang-sedikit-proporsional, serta lesung pipi tipis yang menghiasi wajahku, aku yakin dapat menaklukkan seribu wanita. Belum lagi dengan segala apa yang ada pada diriku.

Suara merdu, jago memainkan alat musik, dan sedikit kejeniusanku adalah daya tarik yang sanggup membuat semua wanita terpesona padaku. Walaupun kurasa, kacamata ini sedikit mengganggu penampilanku, tapi yaa,,, tak mengapa laah,, toh kacamataku ini tak sekuno yang kau bayangkan. Setelah sedikit menyemprotkan parfum mahal-yang ku temukan di dekat meja rias-ke tubuhku. Aku siap menghadapi nona arogan yang telah menculikku ke istana megahnya ini.

Perlahan aku menuruni anak tangga yang menghubungkan lantai di mana aku disekap dengan ruangan sebuah pesta, kurasa. Aku sedikit grogi dengan apa yang akan menyambutku di sana. Dengan mengikuti langkah seorang wanita-lagi-lagi tak ku tahu namanya-yang membimbingku masuk ke dalam ruangan pesta yang-menurutku-sangat mewah dan meriah, aku mengedarkan pandanganku, menyapu setiap sudut ruangan pesta itu.

Seluruh ruangan itu berhiaskan ornamen-ornamen ceria yang berwarna biru, aku tebak nona muda yang disebutkan oleh wanita yang kini berjalan dihadapanku itu penggila warna biru. Dan kini pandanganku terhenti pada sesosok gadis-karena dia tampak mungil dan terlihat lebih muda dari yang lainnya-yang mengenakan gaun berwarna biru dengan sedikit aksen kupu-kupu pada salah satu bagian pada gaunnya. Cantik sekali-gaunnya.

Kulihat dia berbalik setelah diberitahu-dibisiki-akan kemunculanku. Dan apa yang kulihat di sana?!
Setelah dia berbalik dan menatapku-dengan pandangan sedikit terkejut-pandangan kami pun bertemu. Kurasa aku mulai dapat mengenali siapa gadis yang berdiri dengan anggunnya dan sedang menatap ku tanpa bekedip. Benarkan apa yang ku katakan tadi, dengan penampilanku seperti ini siapa sih yang tak akan terpesona ketika melihatku?!

Setelah ku amati dengan seksama, akhirnya aku tau siapa dia!? Bukannya dia gadis bermata biru yang telah menabrakku tadi pagi!? Ternyata dia yang ada dibalik ini semua!? Apa maksudnya dengan semua ini!? Dia ini mau mempermainkanku atau apa!? Semakin aku memikirkan maksud dan tujuan dari apa yang akan dan ingin dia lakukan padaku, seketika itulah timbul rasa tidak sukaku pada gadis yang kini mulai menghampiri ku. Sebenarnya aku tidak mau mengakui ini, tapi, dia benar-benar sangat cantik malam ini.

@@@

Author's POV

Amber berjalan semakin mendekati Dewa yang masih memandangnya dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan. Terpesona, tak mengerti, mengagumi, benci, dan entah apa lagi. Namun, Amber tak peduli dengan semua itu, ia sudah menduga kalau hal seperti itu akan terjadi. Masih dengan memasang senyuman terbaiknya ia melangkah mendekati Dewa.

"lumayan juga untuk ukuran seorang,,, gembel seperti kau,,!! Not bad,,!!" ujarnya pelan saat sudah berada di depan Dewa, dan menekankan intonasi pada salah satu kata dari kalimat yang meluncur lancar dari mulutnya.

Demi mendengar nada penghinaan dari gadis yang telah membuatnya-sedikit-terpesona tadi, Dewa pun memandang tajam ke arah dua bola mata biru yang sekarang terlihat jelas sedang mengejeknya.

"jadi kau pelaku dibalik ini semua!? Apa maksudmu berbuat seperti ini, hah!? Apakah menghinaku begitu menyenangkan bagimu, hingga kau perlu repot-repot menculikku segala,!!" kata Dewa ketus, dia benar-benar telah membenci segala sikap Amber yang dinilainya sangat menghina harga dirinya sebagai seorang manusia.

"tentu saja,, memangnya ada alasan lain!?" katanya, yang sukses mendapatkan tatapan tajam Dewa-yang seolah langsung membuatnya transparan. Sejenak dia merasakan desiran yang tadi-sempat-hilang, rasa ini adalah rasa yang sama ketika dia melihat penampilan Dewa yang berbeda malam ini.

"kau,!!! Benar-benar,,," umpat Dewa, yang tak berhasil menyelesaikan ucapannya karena Amber telah lebih dulu menyeretnya menuju tempat di mana ada kue ulang tahun 3 tingkat yang diletakkan pada pusat ruangan pesta. Dewa dapat merasakan kalau tangan lembut yang sekarang menggenggam tangannya ini tengah meremasnya dengan sedikit kuat, seolah-olah ia tak mau ditinggalkan, dan memintanya-secara implisit-untuk terus berada di sisinya selama pesta berlangsung. Hal ini memberinya sensasi tersendiri. Sedikit terasa di salah satu sudut hatinya, bahwa dia terpesona dengan kecantikan gadis-yang bahkan dia belum tau siapa namanya-ini. Segala yang melekat pada gadis itu membuatnya sangat cantik dan indah, hingga dia pun merasa tak ingin menodai penampilan sempurna gadis itu dengan ucapan-ucapan kasar yang-tadi sempat akan terlontar dari mulutnya-dapat merusak kebahagiannya malam itu.

"biarlah kusimpan dulu, amarahku padanya. Setidaknya aku tak ingin merusak kebahagian para tamu yang sudah repot-repot datang menghadiri pesta ini," ujar Dewa dalam hati.

"sudahlah, aku sedang malas berdebat denganmu. Itu akan merusak kebahagianku malam ini. Jika kau mau berdebat atau mencercaku lakukan nanti setelah pesta usai, aku tak mau menjadi tontonan gratis bagi seluruh tamu-tamuku yang berharga ini, sekarang, kau cukup menikmati saja pesta ini. Aku jamin kau tak akan bosan di sini," ujar Amber, seraya berjalan menuju letak kue ulang tahunnya.

Mau tidak mau, Dewa pun menuruti apa yang diucapkan oleh Amber padanya. Nada otoritas dalam kalimatnya tadi sukses membungkam seluruh umpatan yang akan dia tujukan padanya. Dan, sepertinya gadis itu memang sangat menjaga harga dirinya di depan para tamu undangan yang hadir pada malam itu.

Setelah menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun, make a wish dan tiup lilin, acara selanjutnya adalah pemotongan kue. Pada saat membelah kue itu menjadi beberapa bagian, sempat terlintas dalam benak Amber bahwa kedua orang tuanya hadir di pesta malam ini dan berdiri di samping kanan dan kirinya memberikan senyuman dan doa terbaik untuknya-dan bukannya seseorang yang ia paksa untuk menemaninya seperti ini-dan selanjutnya ia akan memberikan potongan pertama kue itu pada mamanya yang sudah hampir enam bulan tak ia jumpai, serta papanya yang sudah hampir satu tahun tak pernah menjenguknya.

Namun, mendapati bahwa semua itu hanyalah angan-angan semu yang berasal dari kerinduannya pada orang tua yang sangat disayanginya, membuatnya merasa menjadi manusia paling malang di dunia ini, disaat remaja lain merayakan ulang tahunnya yang ke'17 dengan kehadiran orang tua dan keluarga-keluarga serta teman-teman yang menyayanginya, ia harus puas dengan merayakan sendiri ulang tahunnya tanpa kehadiran sosok mama dan papa dan bukan malah merayakannya dengan keluarga karyawannya sendiri, seperti sekarang. Hal itu hampir saja membuatnya meneteskan air mata, kalau saja Dewa tak memberinya kekuatan dengan menggenggam erat tangannya.

Amber menoleh sejenak pada Dewa yang berdiri di sisinya, dan memberinya senyuman terima kasih yang dibalas Dewa dengan,,,,
"kue mu harus segera di potong. Tak tau kah kau ada mulut-mulut yang ingin merasakan kelezatan kue mu itu!!" ujarnya sedikit ketus.

"kau ini,,, benar-benar menyebalkan,!!" sahut Amber sambil memukul pelan bahu Dewa. "benar apa yang dikatakan Dewa tadi, aku tak mau membuat yang lain kecewa dengan tingkahku yang kekanakan seperti ini dan malah larut dalam kesedihan yang tak semestinya kurasakan malam ini." lanjutnya dalam hati.

Dengan senyum yang sudah merekah lagi, ia pun perlahan memotong kue ulang tahun 3 tingkatnya. Potongan pertama ia serahkan pada kedua asisten pribadinya, yang selama ini telah menemaninya dalam suka maupun duka. Yang kedua ia berikan kepada Gadis, anak kecil berusia 8 tahun yang sering menemaninya bermain, kala ia sedang sangat kesepian. Selanjutnya, ia ragu akan memberikan potongan kue ketiganya ini pada seseorang yang telah memberinya sedikit kekuatan padanya saat ia sedikit rapuh tadi.

"dia bukan siapa-siapaku, dan akupun tak mengenalnya sebaik aku mengenal Anggi dan Angel. Tapi, tadi dia sudah sedikit membantuku keluar dari kesedihan. Haruskah potongan ini ku berikan padanya?!" ujar Amber dalam hati.

"aku tak suka makanan manis," ujar Dewa tiba-tiba, seolah-olah tau apa yang sedang berkecamuk di dalam pikiran Amber, dan itu sontak membuatnya menyesal telah berpikir akan memberikan potongan kue ketiganya pada Dewa.

"dasar kau,,!! Memangnya siapa yang akan memberimu kue ini, hah!? Kau jangan berpikir aku akan memberimu kue ini ya,, dasar gembel menyebalkan,!!" ujar Amber berkilah, dan langsung memberikan potongan ketiga itu kepada sembarang orang yang berdiri paling dekat dengan jangkauan tangannya.

"aku memang tak berpikir seperti itu. Tapi wajahmu berkata sebaliknya," bisik Dewa saat Amber sedang membagi-bagikan potongan kue pada para tamu yang hadir. "dan aku tak suka kau memanggilku dengan sebutan gembel, itu benar-benar melukai harga diriku, kau tau itu!?"

Mendengar hal itu, sontak Amber menghentikan kegiatannya dan beralih menatap bola mata hitam yang kini tengah menatapnya tajam, dan sebentuk senyum yang seolah mengejeknya.

"apa kau bilang,!? Harga diri,!? Gembel sepertimu tau apa soal harga diri,!!" balas Amber dengan sedikit ketus, para tamu yang menunggu pembagian potongan kue pun terpaksa menghentikan aktivitasnya demi mendengar ucapan yang sedikt kasar dari nona muda mereka. Tak terelakkan lagi, bisik-bisik pun terjadi di antara para tamu.

"ada apa dengannya,? Belum pernah nona bicara kasar seperti itu,?"

"benar, dan siapa pemuda itu,? Apa dia kenalannya nona,?"

"aku belum pernah melihatnya sebelumnya,,"

"entahlah, mungkin dia salah satu teman sekolah nona Amber,"

"tidak mungkin, apa kau lupa nona tak pernah mengundang siapapun ke rumahnya,?"

"dan setauku nona tak punya teman,"

"lalu, siapa pemuda tampan itu,? Kenapa nona memanggilnya gembel,?"

"tak mungkin kan, kalau pemuda itu berasal dari jalanan,!?"

Itulah sebagian topik pembicaraan dikalangan para tamu. Mereka tak menyangka nona muda yang selama ini begitu menjaga wibawanya di depan para karyawan, malam itu berbicara sedikit kasar pada tamu yang  bahkan belum meraka kenal sebelumnya.

"jangan sembarangan bicara kau,!!" sentak Dewa, yang mulai meluapkan emosi yang sedari tadi dipendamnya.

"huuh,, memang benarkan yang ku bilang tadi, GEMBEL sepertimu itu tak pantas bicara soal harga diri,!!" Ujar Amber dengan senyum mengejek ke arah Dewa.

"Kau sebaiknya menarik kembali semua ucapanmu, sebelum aku ajarkan padamu apa yang disebut harga diri itu,!!" balas Dewa dengan menatap tajam bening bola mata biru di depannya. Sejenak ia terkesiap dengan pesona yang dimiliki pijar mata indah itu, namun segera ditepisnya rasa itu, ia tak mau terlihat sedang mengagumi keindahan mata biru gadis itu.

"tau apa kau soal harga diri,!? Bukankah yang kau tau hanya bagaimana cara membuat kami sudi membagi sedikit kekayaan kami pada orang-orang seperti mu,!? Kau tau, bagi ku itu sangat merepotkan dan menyebalkan. Kami bekerja begitu keras untuk mendapatkan semua itu, dan kalian dengan seenaknya meminta bagian dari kami. Sejujurnya aku katakan, bagiku mau seberapa memelas wajah yang kalian tunjukkan atau seberapa kumal penampilan yang kalian perlihatkan, hal itu sama sekali tak berefek padaku. Aku sudah tau permainan dari bisnis yang kalian jalankan." balas Amber tajam, dan membalas tatapan tajam Dewa dengan tatapan sedikit merendahkan, sesaat dia terpesona dengan bola mata hitam yang memberinya tatapan tajam itu, dan rasa itu kembali menyergap sudut hatinya. Namun, ia seperti tak menyadari adanya getaran di sudut hatinya itu.

"yaa,, benar yang kau katakan itu,!! Aku memang tak tau apa itu harga diri, dan memang yang ku tau hanyalah cara untuk membuat orang-orang macam kalian sudi memberikan sebagian kekayaan kalian pada kami." ujar Dewa tandas, "namun, kami tak sehina yang kalian pikir,!! Setidaknya kami lebih bisa menghargai orang lain ketimbang kalian yang lebih suka merendahkan orang lain,!! Dan jika memberi kami adalah hal yang menyebalkan dan merepotkan bagimu, mengapa tak kau hentikan saja perbuatan mu itu,!?"

"hah,!! Akhirnya kau mengaku juga,,, asal kau tau saja ya,, bagi kami pamor adalah segalanya. Seberapa tinggi derajat keluarga kami ditentukan dari seberapa banyak kau meraih keuntungan setiap bulan, seberapa sering kau pergi ke luar negeri, seberapa banyak uang yang kau belanjakan, dan satu lagi seberapa banyak kau merelakan sebagian uang kecilmu pada orang-orang macam kalian,,!! Jadi, alasan kami yang sebenarnya adalah bukan karena kami merasa kasihan pada gembel seperti kalian, tapi kami melakukan itu semua untuk menunjang popularitas kami,,!!"

Dewa mengepalkan kedua tangannya erat-erat di samping badannya, jika tak mengingat bahwa yang sedang berdiri di depannya kini adalah seorang gadis-yang tak tau apa-apa tentang perjuangan hidup dari orang-orang yang telah dihinanya tadi-maka sudah dapat dipastikan satu kepalan tangan itu akan melayang menghantam wajah polos di depannya.

"kalau saja kau bukan seorang wanita, sudah ku hajar kau,!!" ujar Dewa dengan intonasi sedikit tajam, dan terselip nada kemarahan dalam suaranya.

"hoo,, kalian lihat sendiri kan, apa yang aku katakan tadi benar. Orang-orang yang cepat melakukan kekerasan adalah salah satu ciri dari orang rendahan seperti kau,!! Aku tak menyangka solidaritas di antara para gembel begitu kuat seperti ini,," balas Amber dan menantang Dewa lewat pijar di matanya.

"cukup,!! Aku muak dengan semua ini,,!! Jika niatmu membawaku kesini hanya untuk kau hina dan kau permalukan di depan tamu-tamu mu ini. Selamat,!? Kau berhasil melakuakannya,,!!" Ujar Dewa ketus.

"terima kasiiihh,,, ternyata kau tak sebodoh yang aku kira. Saluuut, ternyata, masih ada gembel yang mempunyai otak seperti mu,,!!" ujar Amber dengan diselingi tawa mengejek.

"kau benar-benar sudah keterlaluan,,!! Apa orang tuamu tak mengajarimu sopan santun,,hah?!" bentak Dewa, nada amarah itu semakin jelas. "huuh,, ku rasa tidak,,!? Melihat kau bertingkah seperti ini, aku yakin kalau kau tak pernah mendapatkan pelajaran moral dari orang tuamu,,!!"

"tau apa kau tentang orang tuaku,?!" desis Amber dengan menekan seluruh emosi dan air matanya agar tak meluap dihadapan Dewa.

Sejenak Dewa menyadari ada selapis bening yang membayang di mata indah Amber, ada sedikit penyesalan yang menyelusup di relung hatinya, karena talah membuat mata indah itu harus berhias bayang-bayang air mata. Namun, dia sudah terlanjur sakit hati diperlakukan seperti itu-dipermalukan dan dihina di depan umum-dan ia pun menepis semua rasa kasihannya pada gadis itu. Harus ada yang mengingatkannya kalau menghormati orang lain itu diperlukan jika kau ingin dihormati oleh orang lain.

"aku memang tak mengenal orang tuamu. Tapi yang aku tau, sepertinya mereka tak menyayangi, aaahh,,, tak peduli lagi denganmu. Buktinya mereka tak ada disini sekarang. Bukankah itu cukup menjelaskan bagaimana mereka sudah tak peduli lagi denganmu. Tak heran kalau kau bersikap seperti ini,,," Ujar Dewa dengan sedikit nada mengejek. "tau kah kau siapa diantara kita malam ini yang sebenarnya sangat menyedihkan,?!"

Dengan sekuat tenaga Amber menahan lapisan bening yang sudah mendesak ingin keluar menerobos dinding pertahanan Amber yang bahkan tak berdiri kokoh. Ia tak ingin membiarkan Dewa meruntuhkan pertahanan dirinya di depan semua tamu-tamunya, tidak juga di depan orang-orang yang selama ini memandangnya tegar. Sudah sejak lama memang Amber merasa tak dipedulikan lagi oleh orang tuanya, namun mendengar hal itu diucapkan oleh orang lain benar-benar sangat menyakitkan baginya.

Selama ini dia sudah berusaha menepis pikiran seperti itu, ia menguatkan hati dan juga dirinya sendiri bahwa nun jauh di sana kedua orang tuanya juga sedang memikirkannya. Karena tak jarang dia mendapatkan paket-paket yang berasal dari luar negeri yang dialamatkan padanya atas nama orang tuanya, hal itu membuktikan bahwa kedua orang tuanya masih mengingatnya. Namun, malam ini entah mengapa ia merasa bahwa apa yang dikatakan Dewa tadi adalah benar dan dia enggan mengakuinya, tidak di depan cowok itu.

"siapa,!? Kau,,!?" sahut Amber tajam, lapisan bening itu semakin terasa berat, dan dia mencoba menguatkan dirinya untuk mendengar apa yang akan diungkapkan oleh cowok yang telah sukses-hampir-meruntuhkan pertahanan dirinya ini.

"awalnya aku merasa menjadi orang yang sangat menyedihkan malam ini, karena aku dibawa dengan paksa ke sebuah pesta yang aku bahkan tak tau siapa penyelenggara pestanya, dan tujuan dibawanya aku kemari ternyata tak lebih hanya untuk dijadikan penghibur dengan cara merendahkan ku di hadapan tamu undangannya yang terhormat." Dewa memulai ucapannya dengan sedikit melemparkan pandangannya pada jejeran tamu undangan yang kini sedang menatap mereka dengan pandangan bertanya dan tak mengerti. Sesungguhnya ia melakukan itu karena ia tak kuasa menatap binar biru itu ternodai dengan bayangan air mata yang menggantung pada ke duanya.

Jujur, ia sebenarnya tak sanggup jika harus melukai perasaan gadis itu. Dia paham betul bagaimana rasanya menjadi yang tak diinginkan. Namun, dia kuatkan hatinya untuk mengucapkan itu semua, hanya demi menyadarkan gadis itu bahwa masih banyak yang peduli padanya di dunia ini selain orang tuanya. Jika diberi kesempatan, ia akan minta maaf karena pernah melukai perasaannya. Tapi itu nanti, yang terpenting sekarang adalah menyadarkan gadis itu dari mimpi indahnya tentang kehidupan yang selama ini dia jalani.

"tapi ternyata, aku salah," lanjut Dewa, masih tak membalas tatapan tajam yang terarah padanya. "ternyata aku masih lebih beruntung darinya. Walaupun aku harus menerima peerlakuan kasarnya padaku, ku rasa aku masih lebih baik daripada dia, setidaknya aku masih memiliki kesempatan untuk menikmati pesta mewah yang bahkan dalam mimpipun tak pernah bisa kubayangkan. Mengingat di luar sana aku masih memiliki sahabat dan orang-orang yang peduli dan menyayangiku, tanpa mengharapkan imbalan apapun dariku, dan senantiasa ada untukku saat senang maupaun saat itu. Kurasa aku jauuhh,,, jauuuhh,,, lebih baik dainya." tambahnya dengan sedikit menerawang, membayangkan ekspresi ketiga sahabatnya ketika ia menceritakan pengalamannya malam ini, dan itu membuatnya tersenyum kecil.

"apa maksudmu,,?! Kau ingin bilang kalau aku lebih menyedihkan darimu,!?" ujar Amber tajam. Sorot mata itu sedikit terluka sesaat setelah mendengar penjelasan Dewa. "aku tau Wa, kau lebih beruntung dan lebih bahagia dari pada aku. Kau mempunyai kehidupan yang lebih membahagiakan dari pada aku. Kau punya orang-orang yang peduli padamu, sedangkan aku,!? Aku pun tak tau apakah orang tuaku masih menyayangi atau bahakan peduli lagi padaku. Terlalu lama tak mendapat kasih sayang membuatku menjadi seseorang yang tak peduli, bahakan dengan kebahagiaanku sendiri." lanjut Amber daalam hati.

"aku tak akan mengatakan hal itu. Hanya kau yang dapat menjawabnya. Tapi, melihat tak adanya kehadiran orang tuamu di moment yang paling membahagiakan dan ditunggu-tunggu para gadis di dunia, ulang tahun ke-17. kurasa aku pun tau apa jawabannya. Kau. Benar-benar. MENYEDIHKAN,,!!" Ujar Dewa tandas dengan menentang mata biru Amber yang kini sudah mulai menetes meninggalkan dinding yang sedari tadi menghalanginya. Akhirnya, pada malam itu luruh sudah semua pertahanan yang dibangun Amber.

PLAAAKK,,,

Sebuah tamparan keras mendarat telak di salah satu wajah Dewa, tepat setelah ia menyelesaikan kalimatnya.

"tanpa kau bilangpun aku memang menyedihkan. Disaat gadis-gadis lain merayakan ulang tahun ke-17 mereka dengan kedua orang tua dan teman-temannya, aku harus puas merayakannya sendiri. Ya,, aku memang gadis yang paling malang di dunia, saat aku membutuhkan perhatian dari orang tua, mereka tak ada disisiku. Ya,, aku memang orang yang paling tak beruntung di dunia ini, orang tuaku sendiri lebih memilih bekerja dan melancong entah kemana, ketimbang menemaniku di sini. Aku memang MENYEDIHKAN,!! PUAS Kau,,!!?" ujar Amber dengan sisa-sisa kekuatannya, sebelum akhirnya dia memilih untuk pergi meninggalkan ruangan pesta itu dan menyisakan Dewa yang berdiri tertegun menatap tempat yang ditinggalkan Amber.

Dengan air mata yang mengalir deras dari kelopak matanya Amber berlari menyusuri anak tangga menuju kamarnya yang mewah, ia tumpahkan segala perih dan lara yang disimpannya sedari dulu. Kenyataan itu benar-benar telah membuatnya lemah, wibawa yang selama ini ia bangun, ternyata tak lebih hanya selembar kertas rapuh yang berusaha menutupi luka dan rasa kecewa yang selama ini dia sembunyikan. Inilah puncak dari seluruh perih yang selama ini Ia pendam. Ia benar-benar merindukan belaian kasih mereka. Selama ini ia berharap suatu saat nanti kedua orang tuanya sadar bahwa mereka memiliki seorang anak yang butuh perhatian dan kasih sayang mereka. Namun, harapan yang dipendamnya selama 9 tahun itupun tak kunjung terwujud.
 Poor Prince & Perfect Princess (Final)

Dewa's POV

Jujur, aku tak ingin gadis yang berada di depanku ini terluka karena apa yang kuucapkan. Namun, aku benar-benar harus mengingatkannya bahwa hidup tak selalu sama dengan apa yang kita harapkan. Terkadang hidup menjadi lebih menyakitkan dari apa yang kita inginkan. Dan dia, harus tau itu. Dengan menahan segala keinginanku-yang entah mengapa, tiba-tiba saja aku ingin merengkuhnya dan menyembunyikan air matanya di dadaku. Melihatnya seperti ini benar-benar menyakitkan bagiku-akhirnya aku melontarkan kata-kata yang sedikit kejam padannya.

"aku tak akan mengatakan hal itu. Hanya kau yang dapat menjawabnya. Tapi, melihat tak adanya kehadiran orang tuamu di moment yang paling membahagiakan dan ditunggu-tunggu para gadis di dunia, ulang tahun ke-17. kurasa aku pun tau apa jawabannya. Kau. Benar-benar. MENYEDIHKAN,,!!"

Yaa,,, Tuhan, apa yang telah aku lakukan,!? Mata indah itu kini telah berhias air mata karena ucapan kejamku itu. Dengan sekuat tenaga aku menahan kedua tanganku untuk tidak merengkuhnya, hanya sekedar membuatnya menghentikan air matanya. Kurasa dia benar-benar terluka. Ooh,, maafkan aku Cantik, aku tak berniat membuatmu seperti ini. Aku berharap kau dapat memaafkanku, kelak.

Mendengar ia mengatakan kenyataan yang begitu pahit dalam hidupnya itu, benar-benar membuatku membeku. Dan bertanya-tanya, kehidupan seperti apa yang selama ini ia jalani. Luka gadis itu bukan hanya berasal dari ucapanku tadi, melainkan sebuah luka yang berasal dari masa lalunya, yang berusaha ia pendam. Dan tamparan yang kuterima ini, kurasa, aku pantas menerimanya. Kuanggap ini adalah bentuk dari diterimanya permintaan maafku, kelak. Dan sakit yang kurasakan ini jaauuuhh lebih baik ketimbang sakit yang tengah dirasakan gadis itu. Ya Tuhan, aku benar-benar ingin mengetahui siapa nama gadis itu,,!! Agar aku bisa menyimpan dan mematrinya di salah satu sudut hatiku. Menjadikannya kenangan yang terindah dalam hidupku.

Kulihat dari sudut mataku dia berlari menaiki tangga, kurasa ia tak ingin orang lain menyaksikan kejatuhannya. Dan apa yang harus ku lakukan,,!? Aku benar-benar awam dengan situasi seperti ini,!!

"maaf tuan jika saya lancang mengatakan ini, tapi apa yang anda katakan tadi benar-benar sudah sangat keterlaluan,!!" ujar salah seorang yang kurasa bernama Angel dengan nada sedikit ketus.

"aku tau," disisku pendek.

"saya tak pernah melihat nona muda seperti tadi." tambah yang lain, dan kurasa dia yang bernama Anggi dengan intonasi yang sedikit lebih lembut.

"maksudnya!?" tanyaku tak mengerti.

"nona tak pernah berkata-kata kasar sebelumnya dan sepanjang pengetahuan saya, nona Amber pantang meneteskan air matanya di depan orang banyak bahkan di depan orang yang belum dikenalnya. Saya tadi benar-benar terkejut dengan sikap nona Amber yang maaf sedikit merendahkan anda tuan. Dan untuk itu saya mewakili nona Amber, saya mohon maaf." lanjut Anggi dengan sedikit membungkukkan badannya sebagai tanda permintaan maafnya.

Apa yang dia bilang tadi!? Jadi selama ini dia tak pernah bersikap negatif di hadapan orang asing?! Lalu, mengapa tadi dia bersikap seperti tadi padaku,!! Benar-benar tak bisa kumengerti.

"maaf, kalau boleh aku tau. Apakah orang tuanya memang selalu bersikap seperti ini? Maksudku selalu mengacuhkannya seperti ini,? Maaf kalau aku lancang," aku benar-benar penasaran, hidup yang seperti apa yang ia jalani sehingga membuatnya harus mematikan mata hatinya.

"tidak apa-apa tuan, tuan dan nyonya memang sudah sejak dulu seperti ini. Jarang pulang dan lebih memilih mengurus bisnisnya yang berada dimana-mana. Terkadang tuan dan nyonya pun tak pernah singgah ke rumah walau mereka ada di sekitar kota ini." jawab Anggi menerangkan.

"keterlaluan sekali mereka,!? Apa mereka tak ingat kalau mereka memiliki anak yang seharusnya mereka beri kasih sayang bukan limpahan materi seperti ini,!?" ujarku kesal. Aku benar-benar tak habis pikir. Masih saja ada di dunia ini orang tua yang lebih memilih mengurusi bisnisnya ketimbang mengurusi anaknya  sendiri. Wajar saja kalau anaknya tumbuh jadi pribadi yang suka semena-mena pada orang lain. Aku benar-benar kasihan dengan nasib keluarga ini. Memprihatinkan sekali. Aku bersyukur sekali bahwa aku masih memiliki orang tua di luar sana yang aku yakini keberadaannya dan aku yakin ayah pasti tak berhenti untuk menemukanmu. Huuufft,,, tiba-tiba saja aku rindu padanya.

"jaga bicara anda Tuan,!!" sentak Angel dengan nada tajam.

"lalu, sudah sejak kapan mereka bersikap seperti ini pada,,,, siapa sih nama nona muda kalian,,!?" tanyaku yang tak memperdulikan sentakan Angel.

"namanya Amber, tuan. Shapira Amber Tanudibyo," jawab Anggi singkat.

Aaahh,,, jadi dia bernama Amber,?! Bagus juga, seperti nama salah satu batu mulia yang langka. Bahkan namanya pun mencerminkan tempat darimana dia berasal. Golongan ningrat.

"jadi namanya Amber,,,??" tanyaku meminta ketegasan. Dan mengulangnya dalam hati, agar nama itu melekat di salah satu sudut hatiku.

"benar tuan," jawab Anggi singkat.

"yaa,, sudah sejak kapan orang tuanya bersikap seperti ini,?"

"seingat saya sejak nona Amber berumur 8 tahun, tuan dan nyonya sudah mulai jarang di rumah," kali ini yang menjawab adalah Angel.

"giillaa,,, berarti sudah sejak 9 tahun yang lalu dia terlantar seperti ini,!? Benar-benar menyedihkan," kata ku terkejut. Aku benar-benar tak menyangka akan selama itu. Ya Tuhaann,,, sekarang aku tau apa yang menyebabkan dia tadi bersikap seperti itu.

"Tuan Dewa, jaga bicara anda,!!" lagi-lagi Angel menyentakku, tapi aku tak peduli. Memang seperti itu kan kenyataannya!?

"benar sudah 9 tahun ini nona tidak merasakan kasih sayang dari orang tuanya, jadi saya mohon, maafkanlah segala sikap kasarnya tadi terhadap tuan," ujar Anggi sungguh-sungguh.

"sudahlah, kau tidak perlu minta maaf seperti itu, aku sudah memaafkannya," kataku singkat. Yaa,, aku benar-benar telah memafkannya, dan sekarang yang aku inginkan adalah menghibur gadis bermata biru itu agar ia tak merasa sendirian lagi. Bukaan,,, bukaan,,, ini bukan seperti yang kau kira. Aku hanya ingin mengingatkannya bahwa dia tak sendirian di dunia ini, masih banyak di luar sana orang-orang yang bernasib sama sepertinya. Setidaknya dia masih punya dua asisten yang peduli dan menyayanginya.

"sudah hampir tengah malam tuan, saya akan mengantar anda pulang," ujar Angel, membuyarkan lamunanku.

"sebelum aku pulang, bolehkah aku bertemu dengannya sebentar. Ada yang ingin aku katakan padanya."

"nona sedang tidak bisa diganggu," jawabnya tandas. Sepertinya dia tidak suka padaku, sejak tadi ucapannya ketus sekali saat bicara padaku.

"sebentar saja, ini benar-benar penting." ujarku sedikit memaksa.

"baiklah,, hanya sebentar saja. Tidak lebih dari 15 menit." ujar Angel tandas.

"terima kasih," jawabku hanya sekedar formalitas belaka.

"mari ikuti saya tuan," kata Anggi seraya melangkah mendahuluiku menuju kamar gadis bermata biru itu, dan aku yang berjalan di belakangnya mengikuti dalam diam. Aku harus mengatakannya dengan benar kali ini, dan semoga ia bisa mengerti apa yang aku katakan nanti. Sungguh, aku tak ingin ia larut dalam kesedihan seperti ini.

"kita sampai. Ini dia kamar nona Amber, tuan." kata Anggi yang lagi-lagi membuyarkan lamunanku.

Setelah berdiri di depan pintu kamar ini, entah mengapa tiba-tiba saja keberanian yang ku kumpulkan tadi menguap berganti kecemasan. Aku cemas jika dia nanti menolak apa yang aku katakan. Ya Tuhan, tolong bantu aku.

Tok,,tok,,tok,,,

Gemuruh di dada ku seperti menggila, sebentar lagi. Semoga dia tak akan membenciku setelah malam ini. Ya ampun, ini benar-benar membuatku mulas. Mengapa ingin menemuinya saja rasanya seperti mengerjakan soal Fisika yang begitu rumit. Semoga dia bisa mengerti. Semoga,, semoga,,,

"siapa,,??" sahut seseorang dari dalam yang kuyakini adalah suara gadis bermata biru itu, dan apa yang kudengar tadi,?! Suaranya parau sekali, hal ini hanya menandakan satu hal. Dia belum berhenti meratapi nasib.

"ini saya nona, Anggi. Ada yang ingin bertemu dengan anda nona," jawab Anggi sopan.

Sebentaar lagi. Dan perutku masih saja mulas.

"siapa,?" lagi-lagi suara parau itu terdengar, dan walau hanya lirih sempat ku dengar isakannya. Makin bertambah mulas saja perutku ini. Ada apa sebenarnya dengan perutku ini. Sebelumnya aku tak merasa ada yang salah dengan yang aku makan tadi-waktu pesta tadi aku sempat menikmati beberapa hidangan yang ada di sana-tapi kenapa sekarang bisa semulas ini?.

"tuan muda Dewa nona,,," jawabnya hati-hati.

Tak ada sahutan dari dalam. Keheningan yang semakin membuatku ingin lari saja dari sini.

"sudahlah, kalau memang tak bisa diganggu, lebih baik aku pulang saja," kataku yang tak kuasa lagi menahan semua ini. Huuufft,,, sepertinya dia benar-benar tersinggung dengan ucapanku tadi. Dan pada saat aku mulai berbalik untuk meninggalkan kamar-yang kurasa tak jauh beda dengan kamar yang ku gunakan tadi-berpintu biru ini.

"biarkan dia masuk," sahutnya, masih dengan suara paraunya, namun kali ini aku tak mendengar isakannya. Sudah berhenti menangiskah dia?

"silahkan tuan. Saya tunggu di bawah 15 menit lagi." jawab Anggi setelah membukakan pintu bercat biru dihadapanku. Dengan segenap keyakinan yang ku punya, aku berdoa agar apa yang kulakukan kali ini tak akan melukainya lebih dalam.
Perlahan aku mulai memasuki kamar bernuansa biru laut yang di penuhi ornamen-ornamen yang juga berwarna biru. Gadis ini penggila biru. Kamar ini tak jauh beda dengan kamar yang ku gunakan tadi, yang membedakan hanyalah, di kamar ini banyak terdapat aksesoris dan benda-benda yang menunjukkan bahwa ini dalah kamar seorang gadis remaja.

Dan, tepat di sana. Di salah satu sudut kamar yang bercahaya remang-remang, berdirilah seorang gadis membelakangiku. Bayangan yang kutangkap adalah, dia berusaha tegar. Ia memandang ke luar jendela, tak ku tahu apa yang sedang dipikirkan gadis cantik itu. Kebisuan yang melingkupi kami benar-benar menyiksaku.

"mau apa kau ke sini?" tanyanya dingin seraya berbalik memandangku. Aku tertegun dengan apa yang kulihat di sana. Ya Tuhan maafkanlah aku. Pemandangan itu tak kan pernah ku lupakan.

@@@

Amber's POV

Setelah mendengarnya mengatakan kebenaran yang selama ini kuingkari, tak sanggup lagi aku menahan perih ini. Hingga tanpa sadar aku pun melayangkan tanganku ke wajahnya. Ya Tuhan, apa yang telah ku lakukan,?! Aku tak bermaksud menamparnya, tapi emosi ini seakan mengendalikanku sekarang. Aku tak kuasa lagi menahan laju air mata yang telah kutahan sejak ia mengungkit tentang keberadaan orang tuaku.

Aku berlari meninggalkannya yang terpaku dengan sikapku tadi. Namun, aku tak peduli. Aku terus berlari ke kamarku, menumpahkan segala lara yang telah kurasakan, jauh sebelum aku mengerti arti diabaikan. Aku menumpahkan air mataku di atas boneka teddy bear kesayanganku, hadiah ulang tahun ke-8 dari orang tuaku, yang menjadi kado terakhir yang aku dapatkan dari mereka, karena setelah itu yang ku dapat hanyalah sebuah ucapan selamat tanpa embel-embel apapun.

Lima belas menit berlalu, namun air mata ini seakan enggan berhenti. Aku telah mengganti gaunku dengan sebuah t-shirt kebesaran dan celana pendek selutut. Aku memandang ke luar jendela dan mendapati bahwa langit malam pun tak berpihak padaku. Di sana hanya ada satu bintang yang berkelip samar, selebihnya hanyalah kelam. Aku menangis dalam diam, menumpahkan perih yang semakin mengelam.

Lamunan ku dipecahkan oleh ketukan pada pintu kamarku. Setelah mendengar siapa yang ingin bertemu dengan ku, aku pun tertegun dibuatnya. Untuk apa dia menemuiku? Apa belum cukup luka yang ia torehkan padaku? Sejujurnya aku malas untuk menemuinya, namun entah kenapa mendengar suaranya yang sedikit pasrah malah membuatku ingin mengetahui hal apa yang akan dia bicarakan padaku.

Aku mendengar derit pintu yang menandakan seseorang telah membukanya, dan suara langkah kaki itu-yang aku yakini sebagai Dewa-berjalan dengan sedikit keraguan, menghampiriku. Setelah memastikan dia mengagumi interior kamarku, akupun berbalik dan bertanya sedikit dingin. Memperlihatkan padanya seberapa besar luka yang kurasakan. Dan kulihat, dia membeku ditempat dia berdiri. Aku menangkap sedikit gurat penyesalan pada kedua bola mata hitam yang kini memandangku dengan sorot yang tak dapat aku artikan. Kurasa dia menyesal, namun entahlah.

@@@

Author's POV

Dewa melangkah pelan menghampiri Amber yang berdiri tak tauh dari jendela. Pandangannya terpaku pada sosok  di depannya. Penampilan Amber sekarang jauh berbeda dengan yang ia temui lima belas menit yang lalu. Tak ada sisa-sisa keangkuhan di sana, yang ada hanyalah sesosok gadis biasa yang sedang tenggelam dalam duka. Miris sekali nasib gadis itu, bukannya bahagia malah luka yang didapatnya.

"maafkan aku," ujar Dewa lirih seraya berjalan menghampiri Amber yang masih berdiri menentang Dewa, memperpendek jarak diantara mereka.

"untuk apa,?!" sahut Amber datar.

"untuk semua kesalahan yang telah ku perbuat padamu. Untuk semua luka yang kau terima dariku." jawab Dewa pelan, dan berhenti melangkah saat jarak yang memisahkan mereka hanya tinggal satu meter. Dalam rentang jarak yang dia ciptakan, rasa itu kembali menyergap sudut hati Dewa. Rasa ingin melindungi dan mengurangi perih yang ia torehkan untuk gadis cantik di depannya, yang kini kehilangan kharismanya.

"cih,," cibir Amber yang memalingkan wajahnya demi menghindari tatapan penyesalan Dewa.

"aku tau kalau kau pasti berat menerima maaf dariku. Tapi aku hanya berusaha menyadarkanmu bahwa terkadang hidup tak seindah yang kita bayangkan. Terkadang ia malah lebih kejam. Membuat kita terpuruk dalam jurang kepedihan. Dan aku hanya ingin mengingatkanmu satu hal,,," ujar Dewa hati-hati. Ia tak ingin menorehkan luka yang lebih dalam lagi pada gadis rapuh di depannya.

Hanya hening yang melingkupi mereka. Perkataan yang dilontarkan Dewa terlalu gampang untuk dicerna, dan itu membuat Amber sadar bahwa selama ini ternyata dia hanya bermimpi dapat hidup bahagia tanpa kedua orang tuanya. Dan sekarang, mimpi itu malah menikamnya.

"apa?" tanya Amber lirih dan datar, dengan masih tak menatap Dewa.

Dengan menekan segala rasa yang ditimbulkan gadis itu padanya, perlahan Dewa mengungkapkan hal yang selama ini luput dari perhatian Amber. Hal yang dia harapkan dapat merubah gadis itu agar menjadi lebih tegar dan dapat berdamai dengan hidupnya. Harapannya hanya satu, membebaskan gadis itu dari belenggu mimpi indah yang selama ini melingkupi hidupnya. Hanya berdamai dengan hiduplah kunci menuju kebahagian yang selama ini dia cari.

"aku hanya akan mengingatkanmu bahwa masih banyak yang peduli padamu, jadi kau jangan larut dalam kesedihan ini terlalu lama, atau kau juga akan kehilangan mereka. Yang perlu selalu kau ingat adalah, masih ada banyak di luar sana orang-orang yang jauh lebih tidak beruntung hidupnya dibandingkan kamu, dan akan selalu ada orang-orang yang peduli dan menyayangimu walau kau tak menyadari semua itu." ujar Dewa pelan dan hati-hati dengan membalas tatapan terkejut Amber dengan tatapan lembutnya. "kau hanya cukup berdamai dengan hidupmu sekarang, dan mulailah menjalani hidup dengan kenyataan yang ada. Hanya itulah kunci agar kau bahagia sekarang. Tidak adanya kehadiran kedua orang tua di sisimu, bukanlah suatu kemalangan yang harus selalu kau sesali. Jadikanlah itu sebagai batu loncatan dalam hidupmu. Buktikanlah pada mereka, bahwa tanpa mereka pun kau akan baik-baik saja. Mereka bukannya lupa padamu, mereka hanya sedang terlena pada jamuan hidup yang tersaji di hadapan mereka. Aku yakin, pada saat mereka telah kehilangan selera dengan semua jamuan itu, mereka akan kembali padamu. Dan pada saat itulah kau bisa menunjukka pada mereka, bahwa kau jauh lebih baik dari yang mereka pikirkan selama ini tentangmu.."

Hening kembali menyelimuti mereka berdua, suatu keheningan yang merasuk ke dalam relung-relung hati kedua insan yang sedang sama-sama mencari kedamaian dalam hidup. Setelah uraian panjang yang terlontar dari mulut Dewa membuat Amber tertegun di tempatnya dan menatap Dewa dengan takjub. Dan, desiran itu kembali terasa di sudut hati Amber, kali ini ia biarkan rasa itu melingkupinya, entah kenapa hal itu malah membuatnya jauh lebih tenang. Perhatian yang diberikan Dewa untuknya membuatnya merasa bahwa memang benar masih banyak yang peduli dan menyayanginya. Dan dia berharap salah satu orang tersebut adalah Dewangga Adiputra.

"sebenarnya kau berasal dari mana,?! Aku tak yakin kalau kau berasal dari jalanan, seperti yang mereka katakan padaku. Dan hidup yang seperti apakah yang kau jalani selama ini, hingga kau bisa mengatakan hal-hal seperti itu? Apakah kau pernah merasakan apa yang kurasakan? Aaah,,, taukah kau kalau kau telah membuatku sulit berpaling pada hal lain. Dan jangan beri aku tatapan itu. Karena itu akan semakin membuatku tak sanggup melawan semua yang kau katakan." ujar Amber dalam hati.

Keheningan yang semakin merasuk ke dalam hati keduanya, terpecahkan oleh suara Angel yang tiba-tiba saja muncul mengagetkan keduanya.

"maaf Tuan, sudah lebih dari lima belas menit. Sudah saatnya anda pulang," ujarnya singkat dan melangkah tak jauh dari depan pintu.

"kurasa, hanya itu yang dapat kusampaikan. Selanjutnya terserah kau. Kau tinggal memilih untuk semakin terpuruk oleh keadaan ini, ataukah kau memilih untuk berubah menjadi yang lebih baik. Pilihan itu sepenuhnya ada di tanganmu. Dan sekali lagi, maafkan aku untuk segala kesalahan yang telah kuperbuat padamu, serta terima kasih atas semua yang telah kau berikan padaku sepanjang malam ini. Selamat tinggal." ujar Dewa, seraya berjalan keluar kamar, menuju Angel yang telah menunggunya dengan tidak sabar.

"terima kasih," ujar Amber lirih sebelum ia berbalik memunggungi Dewa yang berhenti melangkah karena mendengar ucapan lirih yang terlontar dari bibir mungil Amber. Ia pun berbalik dan tersenyum manis pada punggung yang kini dapat ia yakini dapat melangkah keluar dari bayang-bayang kehidupan yang selama ini mengurungnya.

"semoga kau bisa lebih bahagia saat kita berjumpa lagi. Aku akan menunggu saat itu terjadi, jika saat itu tiba aku akan mengungkapkan siapa diriku sebenarnya dan aku juga akan mengatakan padamu tentang bagaimana perasaanku padamu. Semoga saat itu tiba lebih cepat. Selamat tinggal bidadariku, sampai jumpa di kehidupan yang lebih baik dari sekarang." ujar Dewa dalam hati sebelum ia berbalik dan meneruskan langkahnya yang terhenti karena ucapan Amber tadi.

"terima kasih Wa, kau telah menyadarkanku tentang hidup yang kujalani. Terima kasih karena kau adalah orang yang menyadarkanku akan keadaanku selama ini. Dan terima kasih telah menjadi orang yang menawariku akan kehidupan yang lebih baik. Terima kasih Dewa, terima kasih banyak. Semoga kita bisa berjumpa lagi di kehidupanku yang baru. Bila saat itu tiba aku akan ungkapkan seberapa besarnya pengaruh kata-katamu malam ini pada kehidupanku, dan aku juga akan mengatakan seberapa besar rasa terima kasihku padamu. Dan aku juga akan mengatakan tentang hatiku yang telah kau curi bahkan pada waktu pertama kali kita baru bertemu." ujar Amber dalam hati seraya memandang langit yang telah berhiaskan bintang-bintang yang berkelip indah.

Malam itu, bintang dan langit malam menjadi saksi akan ikrar yang tercipta dalam relung hati kedua insan yang sedang sama-sama mencari kedamaian dalam hidup. Mereka sama-sama berharap mendapatkan kebahagian pada pertemuan mereka selanjutnya. Sebuah harapan sederhana, yang terkadang sangat sulit untuk diwujudkan. Malam itu, mereka sama-sama mendekap suatu rasa untuk saling melindungi satu sama lain. Suatu rasa yang kemunculannya terkadang tak disadari, namun ketika ia hadir kita tak dapat berpaling, dan kala rasa itu pergi hanyalah kosong dan hampa yang tertinggal. Suatu rasa yang terkadang dapat membuat bahagia segaligus perih dalam satu masa yang sama. Suatu rasa yang bernama CINTA.


___END___